Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana Pengujian Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau terkenal dengan sebuatan KUHAP yang dimohonkan oleh Anwar Sadat dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana, Rabu (4/9) di Ruang Sidang Pleno MK. Para Pemohon selaku Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan mengajukan gugatan terhadap ketentuan tentang jangka waktu pemeriksaan pra peradilan pada Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d KUHAP tersebut.
Wahyudi Djafar selaku kuasa hukum Para Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan kliennya di hadapan panel hakim yang diketuai Muhammad Alim. Djafar menjelaskan bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d KUHAP memiliki ketidakjelasan dalam aturan pra peradilan yang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan jaminan serta perlindungan di muka hukum. Hal itu dikarenakan pasal tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon I, yaitu Anwar Sadat dalam kapitas sebagai pimpinan organisasi lingkungan hidup tersebut.
Djafar menjelaskan, Anwar Sadat telah dipidanakan akibat membela masyarakat yang berdemonstrasi terkait permasalahan lingkungan hidup di Ogan Ilir Sumatera Selatan dengan tudingan ikut melakukan tindakan perusakan. Terhadap hal itu, Anwar mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Palembang. Namun dalam prosesnya, ketika permohonan praperadilan tersebut mulai diperiksa oleh pengadilan, pihak penuntut telah membawa pokok perkara ke pengadilan untuk disidangkan.
“Sehingga sesuai Pasal d KUHAP permohonan praperadilan dinyatakan gugur. Akibat gugurnya permohonan tersebut, Pemohon 1 (Anwar Sadat, red) tidak dapat mengetahui sah atau tidaknya proses penangkapan pihak kepolisian terhadap dirinya yang berdampak terhadap dilanggarnya hak-hak konstitusional Pemohon 1,” papar Djafar.
Sementara itu, Pemohon II yakni Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana juga dirugikan dengan ketentuan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d UU No. 8 Tahun 1981 tersebut. Pasalnya, ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian bagi Pemohon 2 yang selama ini berusaha untuk memberikan perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan HAM terkait dengan pembaharuan sistem peradilan pidana.
“Pada pokoknya Pemohon 2 memiliki hak dan kepentingan hukum untuk mewakili kepentingan masyarakat untuk mengajukan permohonan ini,” ujar Djafar menyampaikan argumentasi legal standing yang dimiliki Pemohon II.
Pasal yang digugat Para Pemohon secara lengkap berbunyi sebagai berikut.
Pasal 82
Acara pemeriksaan pra peradilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: (b) dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang; (c) pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya; (d) dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur
Dalam petitum permohonannya, Para Pemohon salah satunya meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 selama tidak dimaknai hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang dapat dilakukan tanpa dihadiri oleh pejabat yang berwenang dan dapat menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pejabat yang berwenang. Selain itu, Para Pemohon juga meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 selama tidak dimaknai “pemeriksaan selambat-lambatnya 7 hari tersebut dimulai pada saat hakim tunggal praperadilan membuka sidang pertama kali dengan atau tanpa kehadiran pejabat yang berwenang”. (Yusti Nurul Agustin/mh)