Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan dua perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Ketenagakerjaan, yaitu Perkara No. 67/PUU-XII/2013 dan 69/PUU-XII/2013, Rabu (28/8). Pada sidang kali ini Pemerintah dan DPR memberikan keterangannya terhadap permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon. Pemohon Perkara No. 67/PUU-XII/2013, dimohonkan antara lain oleh Otto Geo Diwara Purba, Syamsul Bahri Hasibuan, dan Eiman. Sedangkan Pemohon Perkara No. 67/PUU-XII/2013, diajukan oleh Jazuli, Anam Supriyanti, dan Wariajo.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Irianto Simbolon mewakili Pemerintah membacakan keterangan terkait Perkara No.69/PUU-XII/2013. Simbolon menyampaikan tidak tepat apabila Para Pemohon mempermasalahkan ketentuan Pasal 160 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Sebab ketentuan tersebut justru telah memberikan perlindungan dan keseimbangan terhadap hak-hak pekerja/buruh yang sedang tersangkut perkara pidana.
Simbolon memaparkan bahwa terhadap keberatan Para Pemohon yang berkaitan dengan pemberian kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa izin setelah pekerja/buruh tidak melakukan kewajibannya selama lebih dari enam bulan sudah diatur sedemikian rupa sehingga bila pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah lalu pekerja/buruh tidak menerima PHK maka perkerja/buruh dapat mengajukan gugatan kepada Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial untuk menuntut hak-haknya untuk mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diderita, baik materiil maupun immaterial dalam jangka waktu satu tahun sejak adanya putusan pengadilan yang berwenang dan telah mempunyai kekuatan hukum yang bersifat mengikat atau inkracht van gewijsde.
Simbolon juga memberikan keterangan terkait ketentuan Pasal 160 ayat (7) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami PHK sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Simbolon memastikan jenis PHK yang dimaksud dalam Pasal 160 ayat (7) adalah PHK yang disebabkan pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib selama/sampai dengan enam bulan berturut-turut karena dalam proses perkara pidana sehingga tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya (Pasal 160 ayat (3)).
Kemudian, terkait dengan hak-hak pekerja/buruh pasca hubungan kerja berdasarkan Pasal 160 ayat (7) tersebut, Simbolon mengatakan pekerja/buruh yang bersangkutan hanya berhak atas uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). "Ketentuan jumlah hak upah dan mekanisme pemutusan hubungan kerja yang tanpa izin, serta hak-hak pekerja/buruh pascaberakhirnya hubungan kerja yang hanya memperoleh uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak diberikan dan dilakukan karena pekerja/buruh dalam proses ditahan pihak yang berwajib. Dalam kaitan ini, menurut pemerintah sudah sangat adil dan manusiawi bilamana seorang pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib dan tidak dapat melaksanakan tugas/kewajibannya untuk memberikan kontra prestasi hasil kerja sesuai perjanjian kerja dan/atau peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama. Sehingga seharusnya tidak berhak atas upah sesuai dengan prinsip no work no pay. Namun demikian, undang-undang memberikan penghargaan berupa bantuan kepada keluarga yang bersangkutan, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak," ungkap Simbolon.
Sementara itu menurut pemerintah, keberatan Para Pemohon yang menyatakan bahwa mengapa terhadap pekerja/buruh yang melakukan tindak pidana dan sedang diproses oleh pihak yang berwajib tidak diberikan uang pesangon sesuai dengan Pasal 156 ayat (2) adalah merupakan konsekuensi logis dari perbuatan pidana yang dilakukan pekerja/buruh.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah menegaskan bahwa sejatinya permohonan Pemohon sudah pernah diputus Mahkamah sehingga jikalaupun terdapat perbedaan batu uji dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, perbedaan tersebut pada dasarnya sama. "Oleh karena itu, menurut Pemerintah sepanjang terkait dengan permohonan pengujian Ketentuan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) adalah bersifat nebis in idem. Dengan perkataan lain, konstitusionalitas Ketentuan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) telah teruji," tegas Simbolon.
Sementara itu, Direktur Ligitasi Kemenkumham Mualimin Abdi membacakan keterangan Pemerintah untuk perkara 67/PUU-XI/2013. Mualimim menyampaikan dalam suatu perusahaan yang dinyatakan pailit dengan putusan pernyataan pailit dari pengadilan yang berwenang yang dalam hal ini pengadilan niaga, maka pengelolaan perusahaan atau debitur pailit beralih dari para direksi kepada kurator yang diawasi oleh seorang atau yang diangkat sebagai hakim pengawas di pengadilan niaga.
“Pada prinsipnya pemenuhan hak-hak atau pembayaran kewajiban kepada debitor, para kreditor separatis dilakukan tersendiri dan terpisah atau bersifat separatis, dan mendahului para kreditor lainnya, termasuk para kreditor pemegang hak istimewa, dan para kreditor bersaing. Artinya, posisi kreditor separatis berada di atas kreditor preferen karena mereka mempunyai jaminan kebendaan yang dinyatakan terpisah atau separatis dari semua perjanjian utang-piutang pada umumnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Kepailitian,” papar Mualimin.
Dalam konteks bekerja atau buruh sebagai salah satu kreditor yang mempunyai hak dalam proses kepailitan, lanjut Mualimin, berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan bahwa yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang lainnya. Ketentuan tersebut menurut Pemerintah telah sejalan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dalam KUHPerdata dan juga UU Kepailitan dan DKPU.
Mualimin juga mengaskan bahwa khusus upah pekerja atau buruh, baik sebelum maupun sesudah pernyataan pailit mendapatkan posisi yang lebih tinggi daripada kreditor separatis atau setara dengan fee kurator, biaya kepailitan dan pemeliharaan serta biaya sewa. Hak tersebut diberikan kedudukan yang lebih tinggi oleh undang-undang, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1134 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak gadai dan hipotek adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana undang-undang ditentukan sebaliknya.
“Jadi ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut telah menempatkan posisi buruh sebagai kreditur preferen yang mempunyai hak istimewa untuk didahulukan daripada para kreditur lainnya,” tegasnya.
Sebelum mengakhiri paparanya Mualimin juga menegaskan bahwa sesungguhnya ketentuan yang ada telah sesuai dan tidak saling bertentangan satu sama lain serta telah memberikan kedudukan yang didahulukan terhadap pembayaran upah dan hak-hak lainnya bagi pekerja atau buruh dalam hal terjadi kepailitan sebagai hak istimewa. Bahkan, lanjut Mualimin, hak atas upah menjadi lebih diutamakan justru dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU.
Dengan demikian, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan telah memberikan kepastian hukum dan tidak multitafsir. Justru sebaliknya telah menguatkan kedudukan pekerja atau buruh dengan mendahulukan pembayaran upah dan hak-hak lainnya dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi.
“Sebaliknya menurut Pemerintah, apabila ketentuan tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau ditafsirkan lain, maka menurut Pemrintah dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan bahkan dapat menimbulkan multitafsir," pungkas Mualimin. (Yusti Nurul Agustin/mh)