Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pembacaan putusan perkara Pengujian Undang-Undang Ketentuan Umum Tentang Tata Cara Perpajakan yang dimohonkan oleh PT Hutahaean, Kamis (29/8). Dalam amar putusan yang dibacakan langsung oleh Ketua MK M. Akil Mochtar, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Mahkamah beranggapan permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum sehingga permohonannya ditolak seluruhnya. "Konklusi. Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum," ujar Akil membacakan kesimpulan putusan Mahkamah.
Sebelumnya Pemohon beranggapan mengalami kerugian dengan terabaikannya hak-hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Kerugian tersebut terjadi karena berlakunya Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan.
Seperti diketahui, dalam menjalankan kewajiban kenegaraannya, Pemohon selaku badan hukum privat melaporkan pajaknya dengan dasar self assessment dalam masa pajak atau tahun pajak. Bahwa selanjutnya fiskus (pengumpul pajak) melakukan pemeriksaan pajak dari Pemohon. Dari hasil yang diperoleh oleh fiskus atas besaran jumlah pembayaran pajak ternyata berbeda dari apa yang telah dilaporkan Pemohon sehingga terjadi perselisihan antara Pemohon dengan Fiskus.
Selanjutnya Pemohon selaku wajib pajak menanggapi temuan fiskus dan menyanggah temuan tersebut. Namun, Pemohon merasa bila ingin menggunakan haknya untuk mengajukan keberatan akan terhalangi oleh ketentuan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5) huruf d UU Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan.
Kedua ketentuan yang digugat oleh Pemohon secara lengkap berbunyi sebagai berikut.
Pasal 25 ayat (9)
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan
Pasal 27 ayat (5) huruf d
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Kedua ketentuan tersebut menurut Pemohon telah membatasi seorang wajib pajak yang mempunyai sengketa pajak karena dikenai berbagai sanksi terlebih dulu. Pemohon juga merasa dirugikan karena adanya potensi kewajiban untuk membayar sejumlah uang sebagai sanksi, selain dari kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan. Hal itu menimbulkan rasa ketakutan ketika Pemohon mengajukan upaya hukum berupa pengajuan keberatan dan banding karena adanya potensi ancaman sanksi.
Pendapat Mahkamah
Namun, Mahkamah berpendapat ketentuan pada kedua pasal yang digugat Pemohon tersebut justru merupakan pelaksanaan amanat Pasal 23A UUD 1945 yang berlaku bagi semua orang atau badan tanpa diskriminasi dan tidak dimaksudkan untuk menimbulkan rasa takut. Selain itu, kedua pasal tersebut juga tidak menghilangkan kepastian hukum dan justru memberikan keadilan bagi semua wajib pajak. Pasal 23A UUD 1945 sendiri menyatakan Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Dalam rangka menjalankan amanat Pasal 23A UUD 1945 dan mewujudkan salah satu tujuan nasional yaitu memajukan kesejahteraan umum maka diperlukan sumber pembiayaan yang berkesinambungan, yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak dan amanat konstitusional tersebut telah dilaksanakan dengan pembentukan UU Tata Cara Perpajakan.
Selain itu, Mahkamah juga berpendapat bahwa apabila wajib pajak, termasuk Pemohon, melalui cara-cara hukum seperti instrumen keberatan pajak atau dengan cara-cara lain berusaha menghindari atau menunda-nunda pembayaran pajak dan hal semacam itu tanpa adanya sanksi, justru akan menghilangkan hakikat pajak sebagai kewajiban atau pungutan oleh negara yang bersifat memaksa. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. (Yusti Nurul Agustin/mh)