Ketua MK M. Akil Mochtar menghadiri acara Rapat Kerja Nasional II Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) dan Borneo Dayak Forum 2013, bertajuk "Dengan Semangat Gotong Royong Kita Tingkatkan Kesejahteraan, Jati Diri, Harkat dan Martabat Masyarakat Adat Dayak dalam Bingkai NKRI", yang berlangsung di Ballroom Swiss Belhotel Palangka Raya, Kalteng (29/8).
Kegiatan Rakernas ini dibuka secara langsung oleh Presiden MADN, A. Teras Narang yang juga menjabat Gubernur Kalimantan Tengah. Dalam kesempatan ini, Ketua MK Akil Mochtar mengangkat makalah berjudul "Hutan Adat dan Hak-Hak Masyarakat Adat, Pertimbangan Konsekuensi Hukum Atas Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara No. 35/PUU-X/2012".
Dalam pemaparannya, Akil mengatakan bahwa persoalan di sektor kehutanan selama ini sesungguhnya terletak pada pengaturan sektor kehutanan yang kurang memberikan keadilan dan kepastian hukum, terutama kepada masyarakat adat. Padahal, lanjut Akil, kesatuan masyarakat hukum adat memiliki sejarah panjang dan landasan konstitusional yang kuat, terkait atas penguasaan tanah dan sumber daya hutan di wilayah adatnya sendiri. Karena itu, wajar jika kalangan masyarakat adat tidak berhenti memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya.
"Siapa yang dimaksud rakyat Indonesia? Yaitu rakyat yang telah mengikatkan diri sebagai bangsa Indonesia. Rakyat yang terdiri atas berbagai golongan, etnis dengan berbagai ragam agama, adat. Rakyat yang telah ada sejak sebelum terbentuknya NKRI, terlebih lagi yang diakui dan dihormati eksistensi dan hak-hak tradisionalnya sebagai hak konstitusional," jelas Akil.
Kemudian dalam Putusan MK dalam perkara No. 35/PUU-X/2012, dikatakan Akil sebagai titik penting bagi masyarakat adat dalam perjuangan mempertahankan hak-hak konstitusionalnya. Disampaikan pula dalam kesempatan tersebut pertimbangan MK pada setiap norma yang diuji sesuai dengan konstruksi amar putusan. Menurutnya, sebelum putusan MK, masyarakat hukum ada berada dalam posisi yang lemah karena tidak diakuinya hak-hak mereka secara jelas dan tegas ketika berhadapan dengan negara dengan hak menguasai yang sangat kuat. "Seharusnya penguasaan negara atas hutan dipergunakan untuk mengalokasikan sumber daya alam secara adil demi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," tegas Akil.
Sebagaimana diketahui, dalam Undang-Undang Kehutanan, hutan adat secara langsung didefinisikan sebagai hutan negara yang berada di atas tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat. Padahal, suatu hutan disebut sebagai hutan negara apabila hutan tersebut berada di atas tanah yang tidak dibebani suatu hak atas tanah. Hal ini memungkinkan negara memberikan hak-hak di atas tanah hak ulayat kepada subjek hukum tertentu tanpa persetujuan masyarakat hukum adat dan tanpa memiliki kewajiban hukum untuk membayar kompensasi kepada masyarakat hukum adat yang mempunyai hak ulayat atas tanah tersebut. Akibatnya, masyarakat adat tidak dapat mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang berada di wilayah mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Di akhir paparannya Akil menegaskan bahwa putusan MK membawa sejumlah konsekuensi. Sejak putusan tersebut diucapkan maka hutan adat bukan lagi bagian dari kawasan hutan negara yang berada di bawah penguasaan negara, tetapi berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Kemudian melalui putusan ini, MK telah berperan menguatkan posisi hak dan peran masyarakat adat dalam penguasaan tanah dan sumber daya hutannya.
"Masyarakat adat sudah seharusnya diberi ruang untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang mereka punya, meski telah mendapat penguatan MK, status masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dalam penguasaan hutan adat perlu dikukuhkan dalam peraturan perundangan-undangan. Karena itulah semua pihak harus berperan untuk mengawal dan melaksanakan putusan MK," tutup Akil. (ddy/mh)