Setelah melalui proses persidangan cukup lama, Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan sebagian tuntutan yang diajukan oleh salah satu nasabah perbankan syariah, Dadang Achmad, yang meminta kejelasan tempat penyelesaian sengketa syariah.
Pemohon mendalilkan, ketentuan perbankan syariah yang memberi pilihan tempat penyelesaian sengketa syariah yang dapat diselesaikan di pengadilan negeri maupun pengadilan agama tidak cukup memberi kepastian hukum. Dalam hal ini, MK sependapat dengan pemohon dalam putusannya No. 93/PUU-X/2012, Kamis (29/08/2013). Adanya pilihan tempat menyelesaikan sengketa dalam perbankan syariah justru telah menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili.
Hal ini jauh berbeda dengan yang tercantum dalam UU Peradilan Agama yang secara tegas dinyatakan bahwa peradilan agama diberikan kewenangan mutlak untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, yang termasuk didalamnya sengketa ekonomi syariah. MK menyakini, proses penyelesaian sengketa syariah harus dilakukan di satu tempat sesuai kesepakatan diawal yang sebelumnya telah dilakukan kedua belah pihak yang diharapkan tidak akan menimbulkan kerancuan tempat penyelesaian sengketa di kemudian hari.
Merujuk sengketa yang dialami oleh Pemohon, MK berkeyakinan bahwa hukum sudah seharusnya memberikan kepastian bagi nasabah dan juga unit usaha syariah dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Nasabah dan unit usaha syariah berhak untuk mendapatkan kepastian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dan MK menilai ketentuan yang termaktub dalam UU Perbankan Syariah tidak memberi kepastian hukum, sehingga atas pertimbangan tersebut MK memutuskan mengabulkan permohonan pemohon.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Akil Mochtar dalam sidang pengucapan Putusan tersebut. MK menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (Julie/mh)