Pasal 28 ayat (2) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimohonkan oleh Pemohon justru bersesuaian dengan perlindungan, termasuk perlindungan kehormatan segenap bangsa Indonesia, paralel dengan prinsip ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; sejalan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, karena tidak ada agama yang membenarkan penyebaran kebencian.
Demikian disampaikan Majelis Hakim Konstitusi dalam sidang pengucapan putusan perkara Pengujian UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik - Perkara No. 52 PUU-XI/2013 yang diajukan oleh M. Farhat Abbas.
“Konklusi, Mahkamah berkesimpulan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Amar putusan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno M. Akil Mochtar yang didampingi para hakim konstitusi lainnya, pada Rabu (28/8) sore.
Pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 28 ayat (2) UU No. 11/2008 yang menyatakan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)” yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
Selain itu, Pasal 28 ayat (2) UU No. 11/2008 juga bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Menurut Mahkamah, ketentuan dalam Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945 yakni hak setiap orang untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya, dapat dibatasi dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
Mahkamah berpendapat, hak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta hak untuk menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, tidak boleh berisi informasi yang kemudian disebarkan untuk tujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan baik antarindividu maupun masyarakat.
Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU No. 11/2008 yang dimohonkan oleh Pemohon justru bersesuaian dengan perlindungan, termasuk perlindungan kehormatan segenap bangsa Indonesia, paralel dengan prinsip ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; sejalan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, karena tidak ada agama yang membenarkan penyebaran kebencian; sesuai dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sebab kemanusiaan mengharuskan perlakuan sama serta penghormatan kepada sesama manusia; setujuan dengan Persatuan Indonesia, oleh karena penyebaran kebencian dan permusuhan akan mengikis persatuan; seiring dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk namun dalam persatuan dan kesatuan Indonesia. (Nano Tresna Arfana/mh)