Para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Bandar Lampung berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (26/8) siang. Kunjungan mereka diterima Peneliti MK, Fajar Laksono Soeroso.
“Mahkamah Konstitusi dibentuk berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945,” ucap Fajar saat membuka pertemuan itu. Dijelaskan Fajar, pada permulaan tahun 2000 Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena ketatanegaraan yang mendunia, tidak hanya di Indonesia. Mahkamah Konstitusi sebagai satu kecenderungan negara-negara yang bergeser dari otoritarian ke demokrasi.
“Biasanya amandemen konstitusinya mengakomodasi adanya Mahkamah Konstitusi. Bahkan di negara-negara Eropa Timur pecahan Uni Soviet, begitu mengadakan perubahan konstitusi, di dalamnya masuklah ide Mahkamah Konstitusi,” urai Fajar kepada para mahasiswa.
Alhasil negara-negara yang mengalami pergeseran dari otoritarian ke demokrasi itu membentuk Mahkamah Konstitusi, baik dalam arti berdiri sendiri di luar supreme court (Mahkamah Agung) maupun menjadi bagian dalam Mahkamah Agung (MA). “Mahkamah Konstitusi di luar Mahkamah Agung seperti digagas Hans Kelsen, yang kemudian memengaruhi banyak negara ketika mengamandemen konstitusi,” kata Fajar.
“Hampir semua anggota Badan Pekerja MPR sepakat perlu dibentuk MK. Persoalannya, apakah MK berdiri sendiri atau menjadi salah satu kamar dalam MA. Karena pada waktu itu banyak yang menginginkan MK menjadi salah satu kamar di MA,” imbuh Fajar.
Selanjutnya, sesuai perintah UUD, MK harus sudah dibentuk pada Agustus 2003. Kemudian DPR dengan Pemerintah sepakat dibentuk Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 melalui UU No. 24 Tahun 2003. Momentum itulah yang dijadikan tonggak hari lahirnya MKRI.
Dengan demikian, ungkap Fajar, MKRI kini sudah berusia satu dasawarsa. Kiprah MKRI selama satu dasawarsa, berperan penting dalam pembangunan hukum, penegakan demokrasi, melakukan terobosan hukum, yang dirasakan sangat bermanfaat, kontributif dan membantu perkembangan mendewasakan ketatanegaran Indonesia.
Lebih lanjut Fajar menjelaskan, beberapa waktu lalu M. Akil Mochtar mengucap sumpah sebagai Ketua MK. “Ketua MK itu tidak dilantik, tidak diambil sumpah seperti pejabat-pejabat negara yang lain. Tetapi Ketua MK mengucapkan sumpah di hadapan Mahkamah Konstitusi,” terang Fajar. Dalam UU Mahkamah Konstitusi disebutkan dengan jelas, “Sebelum memangku jabatannya, Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi mengucapkan sumpah di hadapan Mahkamah Konstitusi”. Pada 22 Agustus 2013 lalu diadakan Sidang Pleno Khusus MK dengan agenda pengucapan sumpah Ketua MK.
“Dalam sidang pleno khusus ada hal menarik dari yang disampaikan Ketua MK. Selama sepuluh tahun terakhir kiprah MK, yang paling menonjol bahwa MK dipandang sangat berperan, karena MK memiliki kewibawaan. Terutama karena tidak ada instrumen yang bisa memaksa pelaksanaan putusan MK. Meskipun demikian, semua putusan MK dilaksanakan, diimplementasikan, dipatuhi, dihormati,” tandas Fajar. (Nano Tresna Arfana/Devi Arlina/mh)