Kewenangan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) yang begitu besar, sangat berpotensi diselewengkan. Sudah rahasia umum jika Banggar menjadi arena bancakan para pihak yang ingin mengeruk keuntungan pribadi dari anggaran negara. Faktanya, berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan anggaran merupakan salah satu kategori tindak pidana korupsi paling banyak ditangani oleh KPK selama ini.
“Kategori ini menempati ranking ketiga setelah kasus penyuapan dan pengadaan barang jasa,” ungkap Komisioner KPK Bambang Widjojanto yang bertindak mewakili KPK untuk memberikan keterangan dalam sidang Perkara No. 35/PUU-XI/2013, pada Rabu (21/8) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam perkara ini, Pemohon mempersoalkan keberadaan dan kewenangan Banggar yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Keuangan Negara serta Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Bambang mengungkapkan bahwa lebih dari 50% perkara tindak pidana korupsi di KPK, yang dilakukan oleh pelaku yang berasal dari DPR atau DPRD, berkaitan dengan penyalahgunaan anggaran. Meskipun, kata dia, tidak semuanya berasal dari anggota Banggar.
Selain itu, KPK juga telah melakukan berbagai kajian terkait pola serta potensi korupsi di tubuh DPR. Setidaknya KPK menemukan tiga kelemahan terkait perencanaan dan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama ini. Pertama, potensi korupsi. Kedua, adanya kelemahan pada proses kerja. Menurut Bambang, kelemahan ini terjadi karena adanya siklus yang berulang, sehingga proses pembahasan anggaran kurang efektif dan efisien. Di samping itu juga adanya kehadiran anggota DPR yang tidak optimal.
Adapun kelemahan ketiga, adalah lemahnya kelembagaan. Salah satu bentuknya adalah kurangnya dukungan riset dan kajian dalam perumusan dan pembahasan anggaran di Banggar.
“DPR RI dan Banggar DPR RI memiliki kewenangan yang sangat besar mengenai fungsi anggaran, namun pembahsannya sering kali dilaksanakan secara tertutup, dan adanya pendekatan informal yang dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi anggaran, sehingga sulit untuk dilakukan pengawasan yang sangat komprehensif,” beber Bambang.
Kewenangan yang sangat besar tersebut, lanjutnya, juga menyebabkan fungsi pengawasan menjadi tidak terkendali. Karena baik Banggar, fraksi, maupun mekanisme pengawasan lainnya juga tidak dilakukan secara komprehensif dan optimal. “Dan itu semuanya berpeluang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan karena pembahasan rancangan APBN dilakukan secara terinci sampai satuan tiga, yaitu menyetujui APBN mulai dari unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, hingga jenis belanja dalam pengelolaan keuangan negara,” tuturnya.
Selain Bambang, pada kesempatan yang sama, Pemohon juga telah menghadirkan dua orang ahli untuk mendukung dalil-dalil permohonannya. Hadir Iwan Gardono Sujatmiko dan Rimawan Pradiptyo.
Dalam keterangan ahlinya, Iwan Gardono Sujatmiko mengatakan, setelah reformasi kekuasaan dan kewenangan DPR semakin membesar. Namun sayangnya, semakin menguatnya posisi DPR ini, tidak dibarengi dengan meningkatnya kualitas DPR. “Di mana reformasi telah meningkatkan kekuasaan dan kewenangan yang besar di DPR, namun tanpa kontrol dan akuntabilitas publik yang memadai sehingga terjadi berbagai kasus penyimpangan,” ungkap pakar sosiologi politik dari Universitas Indonesia ini.
Ditambah lagi, ujar Iwan, sering terjadi ‘kerahasiaan palsu’, yakni informasi yang tak perlu dirahasiakan malah dirahasiakan. Hal ini bertolak belakang dengan transparansi dalam pembahasan dan pengelolaan keuangan negara.
Sementara itu, Rimawan Pradiptyo berpendapat, sifat korupsi di Indonesia bukanlah korupsi sistemik, tapi korupsi yang bersifat struktural. “Korupsi struktural adalah korupsi yang terjadi akibat sistem yang berlaku di suatu negara cenderung memberikan insentif yang lebih tinggi untuk melakukan korupsi daripada insentif untuk mematuhi hukum. Atau hukum sengaja dibuat agar tidak kredibel,” imbuhnya.
Dia juga berpandangan, selama ini Banggar tidak melakukan optimalisasi melainkan maksimalisasi anggaran. “Yang ada adalah maksimalisasi anggaran. Karena maksimalisasi anggaran dipergunakan untuk alokasi di bidang-bidang yang sebenarnya tidak optimal.”
Faktanya, kata dia, kapasitas sumber daya manusia di DPR, lebih lemah dari eksekutif. Begitupula terhadap akses informasi dan kontrol di DPR. “Akses informasi DPR tidak sebaik eksekutif. Kekuasaan eksekutif lebih terbatas dan lebih terkontrol daripada DPR,” ujar pakar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada ini. (Dodi/mh)