Para anggota pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka) nasional berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (19/8) sore. Kunjungan mereka diterima oleh Ketua MK M. Akil Mochtar yang didampingi Sekjen MK Janedjri M. Gaffar.
“Sebagai salah satu pimpinan lembaga negara, saya merasa bangga bahwa saudara-saudara telah melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Dari sekian banyak pemuda-pemudi Indonesia bisa mewakili, berkumpul di Istana Negara melaksanakan langsung Upacara Peringatan Kemerdekaan Indonesia dan bertemu Presiden maupun petinggi-petinggi negara,” ujar Akil Mochtar.
Dalam pertemuan itu Akil menuturkan sekilas perjalanan sejarah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Secara fisik, MKRI baru berusia 10 tahun, tepatnya 13 Agustus 2013. Meskipun dari sejarah konstitusi Indonesia, sebenarnya ide membentuk MK di Indonesia sudah ada dalam pikiran para pendiri bangsa.
“Pikiran-pikiran itu sudah ada pada saat penyusunan UUD. Tetapi, kekuasaan kehakiman di Indonesia sampai Reformasi 1998 dilakukan oleh Mahkamah Agung,” jelas Akil kepada para peserta paskibraka nasional beserta para pembina dan pelatih.
Hingga pada 2003, setelah terjadi amandemen UUD 1945, maka kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang kedudukannya setara dan seimbang, hanya dibedakan oleh fungsi dan wewenangnya. Dikatakan Akil, MK memiliki empat wewenang dan satu kewajiban.
“Wewenang pertama MK, menguji UU terhadap UUD sesuai Pasal 24C UUD 1945. Misalnya kalau ada pasal, ayat, norma atau seluruh isi UU dinyatakan bertentangan dengan UUD, maka UU itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat dan bertentangan dengan UUD. Sifat dari putusan MK adalah final dan binding,” kata Akil. Sejak MKRI didirikan, lebih dari 100 perkara sudah diputus MK, sedangkan UU secara keseluruhan yang dibatalkan ada lima UU.
Wewenang berikut MK adalah memutus sengketa antara lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Kalau misalnya Presiden berselisih dengan DPR tentang satu hal. Selain itu, MK berwenang memutus pembubaran partai politik.
Selanjutnya, MK berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum, mulai dari Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilu Kepala Daerah.
Lainnya, MK memiliki kewajiban mengadili pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden melanggar UUD, melakukan tindak pidana korupsi atau tindak kejahatan lainnya, dan sebagainya.
“Kalau MK sependapat dengan DPR, maka usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden diteruskan ke MPR,” tandas Akil.
Lebih lanjut Akil menjelaskan, MK memiliki 9 orang hakim dari unsur DPR, MA dan Presiden. Sedangkan syarat Hakim MK antara lain negarawan, tidak tercela dan adil. (Nano Tresna Arfana/mh)