Pusat Kajian Strategi UI masih terus menghadirkan sejumlah ahli dan saksi fakta yang menjadi korban langsung terjadinya interpretasi yang salah atas UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Mantan Dirut PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan dalam persidangan membeberkan kerugian yang dialaminya saat menjadi tersangka kasus korupsi karena diduga telah menimbulkan kerugian negara. Kasus berawal dari tindakan Hotasi yang menyetujui transfer deposit sebesar US$1 juta untuk sewa 2 pesawat B737 Classic kepada pihak lessor Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) pada Desember 2006. Karena TALG gagal menyerahkan kedua pesawat dan menolak mengembalikan deposit itu, maka dianggap telah terjadi kerugian negara. “Saya dituduh menyalahgunakan kewenangan sebagai Direktur Utama Merpati kala itu,” ujarnya bertestimoni.
Belakangan, setelah melalui proses peradilan, Hotasi dibebaskan dari dakwaan tindak pidana korupsi karena Majelis Hakim Tipikor Jakarta tidak menemukan bukti sah dan menyakinkan adanya kesengajaan atau niat jahat untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Berkaca dari pengalamannya, Hotasi menilai, UU Keuangan Negara telah menjadi pintu masuk bagi kesewenangan hukum, sehingga siapapun yang mengenakan seragam negara dapat mencampuri ranah privat.
Hotasi mencurigai sang pemrakarsa ayat ini di Kementerian Keuangan pada tahun 2003 sengaja memasukan ayat ini untuk membatasi kewenangan Kementeriaan BUMN dalam pengelolaan BUMN yang sedang disusun dalam waktu bersamaan di UU No 19/2003. Tujuannya jelas untuk mengijinkan Kementeriaan Keuangan memasuki kebijakan BUMN.
Secara tegas Hotasi menyerukan seharusnya hutang BUMN hanya menjadi kewajiban perusahaan dan bukan menjadi hutang negara. Dengan demikian perlu adanya kepastian hukum atas pemisahan aset negara dan kekayaan perusahaan.
Mantan Menkeu Dukung Pemohon
Keterangan Hotasi juga didukung oleh tiga ahli yang dihadirkan Pusat Kajian Stategi UI, Yusuf Indra Dewa, Mas Ahmad Damiri, dan Menteri Keuangan era pemerintahan Presiden Soeharto, JB Sumarlin.
Ketiganya kompak menyatakan UU Keuangan Negara perlu dikoreksi karena mengandung banyak kelemahan dan berpotensi melemahkan sistem kerja dan usaha BUMN dalam mengejar keuntungan maksimal.
“Sebaliknya, UU Keuangan Negara ini kontra produktif karena membatasi ruang gerak BUMN untuk bekerja secara maksimal, hal ini juga masih dipersulit dengan adanya campur tangan pemerintah,” urai JB Sumarlin yang akrab disapa Marlin ini.
Di lain pihak, Hanna Kartika yang mewakili Kementeriaan Keuangan, menolak menanggapi keterangan para saksi dan ahli yang dihadirkan pemohon. Pihaknya masih akan mempersiapkan materi untuk persidangan lanjutan. ”Nanti saja, masih ada persidangan lanjutan, nanti ya,” ujar Hanna menjawab pertanyaan Media MK.
Menurut rencana, sidang berikutnya akan dibuka pada Senin, (26/8) pukul 14.00 WIB. (Julie/mh)