Mursiyam, seorang Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat diduga telah melakukan penggelapan barang bukti dan pemalsuan dokumen barang bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Meski oknum kejaksaan tinggi tersebut telah dilaporkan atas dugaan tindak pidana namun oknum jaksa tersebut tidak dapat dilanjutkan pemeriksaannya karena tidak adanya izin dari Jaksa Agung. Demikian disampaikankan Melky L. Tobing, seorang advokat, yang dihadirkan oleh para pemohon Pengujian Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Sidang uji materi UU Kejaksaan yang digelar Rabu (24/7), tersebut dimohonkan oleh mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar, Boyamin, dan Andi Syamsudin dari alm. Nasrudin Zulkarnain.
Melky L. Tobing yang merupakan kuasa hukum dari Fariz Rafli, terpidana kasus narkotika, menjelaskan Mursiyam telah menggelapkan barang bukti kendaraan milik Fariz Rafli. Menurut dokumen faktur pembelian kendaraan yang dimiliki kliennya, kendaraan tersebut memiliki transmisi otomatis namun barang bukti kendaraan yang dihadirkan JPU Mursiyam memiliki transmisi manual.
Kesaksia Melky tersebut disampaikan dalam persidangan untuk memperkuat dalil para pemohon dalam perkara 55/PUU-XI/2013 mengenai terhambatnya proses hukum akibat keharusan adanya izin dari Jaksa Agung bagi jaksa yang telah melakukan tinda pidana dalam melakukan tugasnya.
Selain saksi, para pemohon juga menghadirkan Irmanputra Sidin, ahli hukum tata negara. Menurut Irman, keharusan adanya izin dari pimpinan tertinggi dari aparat hukum yang melakukan pelanggaran pidana merupakan bentuk pemanjaan terhadap institusi pemidanaan yang dapat merampas kebebasan orang lain yang belum tentu bersalah. “Akibatnya, warga negara akan menjadi obyek yang hanya bisa pasrah untuk menunggu nasibnya atas tindakan penegak hukum yang berlindung di balik tameng hukum,” ujar Irmanputra Sidin.
Jaga independensi
Sementara Andi Hamzah, pakar hukum pidana Universitas Indonesia, yang dihadirkan oleh pemerintah menerangkan, keharusan adanya izin dari Jaksa Agung bagi polisi untuk memanggil Jaksa semata-mata untuk menjaga independensi jaksa. Menurut Andi Hamzah, ketentuan pasal 8 ayat (5) itu memiliki landasan sejarah yaitu pada tahun 1964 terjadi intimidasi terhadap jaksa yang melakukan penuntutan terhadap polisi dalam kasus penggelapan. Begitu juga pada 1998 dalam kasus pembunuhan Nyo Beng Seng, jaksa Kamaru yang menangani perkara tersebut mengalami intimidasi dari aparat kepolisian, karena menuntut hukuman lebih tinggi terhadap terdakwa pelaku pembunuhan. Oleh karena itu jaksa sebagai profesi yang terhormat, officium nobille, harus mendapat perlindungan.
Andi Hamzah mengungkapkan, Pasal 24 UUD 1945 sebelum perubahan mengatur bahwa jaksa agung merupakan bagian dari pelaku kekuasaan kehakiman. “Hal tersebut dibuktikan dalam UU Mahkamah Agung (MA) tahun 1950 yang dibuat oleh Supomo, salah satu penyusun UUD, bahwa MA terdiri dari seorang Ketua, sekian anggota, seorang panitera, seorang Jaksa Agung dan dua orang Jaksa Agung Muda,” Jelas Andi Hamzah.
Oleh karena itu jaksa dikatakan dengan jaksa pada MA. Sehingga kejaksaan Agung pada saat itu sangat independen. Hal tersebut berlanjut ketika posisi Jaksa Agung dan ketua MA ditetapkan oleh bung Karno menjadi menteri dibawah presiden.
Hamzah mengungkapkan, Jaksa Agung saat itu, Suprapto, sangat independen hingga menangkap sejumlah menteri yang melakukan pelanggaran hukum. Menurut Hamzah, kesalahan penempatan jaksa di bawah Presiden itu tetap diteruskan hingga sekarang, dan ini mengganggu independensi jaksa. “Tidak ada seorang pun jaksa yang kebal dari hukum. Secara historis tidak ada jaksa yang melindungi bawahan dalam melakukan kejahatan, tradisi Kejaksaan berbeda dengan instansi lain.” Ungkap Hamzah yang memiliki pengalaman sebagai jaksa selama 40 tahun.
Usai menggelar persidangan, Majelis Hakim yang dipimpin ketua MK M. Akil Mochtar menegaksan bahwa pemeriksaan perkara ini telah selesai. Sidang berikutnya akan diagendakan untuk pembacaan putusan. (ilham)