Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dimohonkan oleh Ferry Tansil, Selasa (23/7). Pada sidang kali ini kuasa hukum Pemohon, Frederich Yunadi menyampaikan bahwa Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan tentang surat pemidanaan pada Pasal 197 ayat (1) huruf l Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Frederich di hadapan panel hakim yang dipimpin Ketua MK M. Akil Mochtar mengatakan bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHP sudah sangat jelas menyatakan bahwa dalam surat pemidanaan harus mencantumkan hari dan tanggal putusan, nama penuntut hukum, nama hakim yang memutus, serta nama panitera yang bertugas. Namun, lanjut Frederich, dalam putusan pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung, maupun dalam upaya hukum luar biasa (PK) ketentuan pada Pasal 197 tersebut tidak pernah dicantumkan.
“Tujuan kami mengajukan uji materiil ini Pak adalah supaya Mahkamah Konstitusi bisa melihat apakah huruf l ini masih patuh, Pak. Lalu apa masih perlu dihapus? Menurut kami karena huruf l-nya mengakibatkan terjadi confusing hukum sehingga seharusnya batal demi hukum sebagaimana Pasal 197 ayat (2). Namun pihak-pihak tertentu mengatakan bahwa batal demi hukum itu tetap masih harus dieksekusi. Nah, jadi kami mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi memohon kalau memang dalam hal ini suatu undang-undang yang menimbulkan multitafsir seyogianya dibatalkan saja,” jelas Frederich.
Dalam permohonannya, Pemohon menyatakan aspek-aspek yurudis pada Pasal 197 ayat (1) KUHAP huruf l bersifat imperatif dan kumulatif sehingga tidak boleh satupun dari unsur tersebut tidak dimuat atau lalai mencantumkannya dalam putusan pemidanaan sehingga dapat mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum. Pemohon juga menyatakan putusan pemidanaan terhadap Pemohon yang tidak memuat ketentuan sebagaimana yang diisyaratkan didalam Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP haruslah dimaknai secara utuh dan berlaku pada semua tingkat pengadilan.
Menanggapi permohonan Pemohon, anggota Panel Hakim Hamdan Zoelva memberikan saran yang dapat digunakan untuk perbaikan permohonan Pemohon. Hamdan meminta agar Pemohon menguraikan kerugian faktual yang dideritanya akibat ketentuan dalam Pasal 197 tanpa perlu menguraikannya secara normatif. “Faktual apa yang dia rasakan, kerugiannya apa, atau yang potensial pasti akan terjadi. Jadi tidak usah secara panjang lebar diuraikan secara normatif. Ini kan hanya untuk pintu masuk saja untuk mengetahui apakah Anda memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan atau tidak,” saran Hamdan. (Yusti Nurul A./mh)