Substansi UU PPTKI semakin menunjukkan lemahnya sistem perlindungan bagi TKI karena Pemerintah lebih banyak menyerahkan urusan perlindungan pada PPTKIS. Hal ini diungkapkan oleh Peneliti dari Institusi for Esocrite, Sri Palupi selaku ahli Pemohon dalam sidang pengujian Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKI) pada Selasa (23/7). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 50/PUU-XI/2013 ini dimohonkan oleh tiga orang buruh migran, yakni Arni Aryani Suherlan Odo, Siti Masitoh BT Obih Ading, serta Ai Lasmini BT Enu Wiharja.
“Substansi undang-undang didasarkan pada cara pandang atau paradigma bahwa bekerja di luar negeri secara aman adalah bekerja melalui PPTKIS. Pemerintah cenderung abai terhadap kenyataan bahwa PPTKIS adalah lembaga bisnis yang orientasinya adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK M. Akil Mochtar.
Palupi menjelaskan hasil studi lembaganya menunjukkan lebih dari 80% TKI yang dikirim ke luar negeri tanpa sepengetahuan Pemerintah setempat. Pemerintah menunggu laporan PPTKIS yang memberangkatkan TKI ke luar negeri sehingga ketika PPTKIS tidak melapor, Pemerintah juga tidak dapat mendata. “Pemerintah tidak tahu berapa warga yang dikirim ke luar negeri dan di mana saja mereka bekerja. Tidaklah mungkin melindungi warganya bila Pemerintah sendiri tidak tahu berapa jumlah orang yang bekerja di luar negeri dan di mana saja mereka berada,” jelasnya.
Hadir dalam kesempatan itu, Direktur Mediasi dan Advokasi Penelitian dan Perlindungan PNP2TKI Teguh Hendro Cahyono selaku Pihak Terkait. Dalam keterangannya, Teguh mengungkapkan pekerja adalah hak dari warga negara yang menjadi kewajiban Pemerintah untuk menyelenggarakan atau menfasilitasinya. Oleh karena itu, lanjut Teguh, bekerja ke luar negeri sudah difasilitasi dengan regulasi yang bernama Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004. “Di dalam undang-undang itu diatur terutama adalah bagaimana filosofi perlindungan bagi TKI khususnya, kemudian diatur dengan mekanisme yang ada bagi penempatan dan perlindungan bagi TKI ke luar negeri,” jelasnya.
Terkait dengan perlindungan ini, sambung Teguh, pada prinsipnya perlindungan diberikan oleh Pemerintah atau penyelenggaraan yang menempatkan dan melindungi TKI ke luar negeri dengan berbagai cara, baik dengan cara administratif maupun secara teknis. Di dalam administratif, ada beberapa dokumen dan ketentuan persyaratan yang diupayakan untuk memberikan perlindungan optimal kepada TKI. “Sementara dari sisi teknis, kita tahu juga ada langkah-langkah kegiatan termasuk juga mekanisme dan ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada para TKI,” paparnya.
Dalam pokok permohonannya, Para Pemohon yang diwakili oleh Jansen E. Saloho mendalilkan hak konstitusinya terlanggar dengan berlakunya Pasal 10 huruf b, Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60 UU Perlindungan TKI. Menurut Jansen, Pasal 10 huruf b Undang-Undang tersebut telah memberikan tanggung jawab penempatan TKI kepada pihak swasta, hal ini bertentangan dengan kewajiban konstitusional negara dalam melindungi warga negara Indonesia dalam hal ini TKI di luar negeri. Kemudian, Jansen melanjutkan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang tersebut yang menyatakan Pengurusan untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggungjawab pelaksana penempatan TKI swasta, dengan tegas membatasi pihak yang berhakuntuk mengurus perpanjangan kontraknya secara mandiri. (Lulu Anjarsari/mh)