Sejak awal, para pendiri negara ini telah memilih demokrasi sebaga sistem politik pemerintahan negara. Artinya, sejak awal pula demokrasi diyakini sebagai sistem yang sesuai untuk mengantarkan negara ini pada cita-cita dan tujuannya.
Demikian yang disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar dalam Orasi Ilmiahnya dalam rangka Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, Sabtu (20/7) kemarin yang bertema “Peranan MK dalam Konsolidasi Demokrasi Pasca Reformasi” yang diprakarsai oleh Fakultas Hukum Universitas Pakuan bekerjasama dengan Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Pakuan Bogor bertempat di Aula Soepomo, Universitas Pakuan Bogor.
Dalam perkembangannya lanjut Akil, demokrasi dipraktikkan dengan sangat dinamis dari masa ke masa. Bahkan, demokrasi diajalankan dan tampil dalam wujud yang tidak sama di rezim yang berbeda. Praktik demokrasi pada masa Orde Lama berbeda dengan praktik di masa Orde Baru. Kesamaan keduanya ialah memaknai dan mempraktikan demokrasi secara berbeda dengan hakikat demokrasi sungguhnya. Di era reformasi, praktik demokrasi lebih merupaka antitesis dari praktik sebelumnya sehingga di era reformasi ini kita sepakat mengatakan demokasi mengalami lompatan spektakuler.
Tidak disangkal, kajian-kajian akademis telah menemukan fakta dan bukti bahwa kelemahan Undang-Undang Dasar 1945 ternyata turut andil menghambat terwujudnya pemerintahan demokratis. Karena itu, UUD 1945 harus diubah. Kiranya, berlakukah adagium tidak ada reformasi politik tanpa reformasi konstitusi. Artinya, perubahan politik kenegaraan meniscayakan perubahan konstitusi karena konstitusi merupakan pedoman dasar penyelenggaraan negara. Setelah disahkan, Perubahan UUD 1945 menegaskan bahwa pada tataran normatif, demokrasi menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, yang didalamnya indikator-indikator umum esensi demokrasi telah terpenuhi.
Akil mengatakan bahwa pada aspek kebebasan sipil, seperti kita ketahui, kebebasan untuk mengemukakan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berserikat, dan kebebasan untuk beragama dan berkeyakin serta kebebasan beribadah menurut agama dan keyakinannya masing-masing telah dijamin dan dilindungi konstitusi. "Dalam konteks menyeimbangkan demokrasi dan hukum itulah, maka MK berperan mengawal konsolidasi demokrasi. Melalui empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasa 1945, MK berkontribusi dalam konsolidasi demokrasi," terangnya.
Empat kewenangan MK itu adalah menguji undahg-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewnangannya diberika oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasi pemilu. Sementara kewajiban MK adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Sebelum mengakhiri ceramahnya, Akil Mochtar menyampaikan pesan bahwa akan berupaya mengingatkan dan menegaskan kembali kepada kita semua bahwa demokrasi yang ingin kita tegakkan adalah demokrai yang bersumber dan dilandasi oleh UUD 1945, bukan demokrasi yang lain-lain.
Karenanya, sebagai lembaga pengawal konstitusi, MK akan terus mengambil peranan strategis dalam mengawal konsolidasi demokrasi dalam batas-batas kewenangan konstitusionalnya. Hal ini dilakukan untuk turut membantu mewujudkan cita-cita dan tujuan negara Indonesia berdasar UUD 1945.
Dalam Kuliah umum tersebut di hadiri pula oleh Wakil Rektor Bidang Akademi Oding Sunardi, Dekan Fakultas Hukum Iwan Darmawan, Pemerintah Kota Bogor, para advokat, anggota kepolisian, dan sivitas akademi Universitas Pakuan Bogor, serta mahasiswa Program S1 dan S2 Fakultas Hukum Universitas Pakuan.(Hidayat/mh)