Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian) bukanlah undang-undang yang bersifat kapitalis. Hal ini ditegaskan oleh Ahli Pemohon Bagong Suyanto terhadap sidang pengujian UU Perkoperasian yang berlangsung pada Kamis (18/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Undang-Undang Perkoperasian ini tidak termasuk ke dalam undang-undang yang bersifat kapitalis,” tegas Bagong di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK M. Akil Mochtar.
Bagong mengingatkan kepada Pemohon untuk berhati-hati menilai maupun menggunakan istilah ‘kapitalis’. Menurut Bagong, istilah ‘kapitalis’ hanya dapat dipergunakan bagi sebuah sistem ekonomi. “Istilah ‘kapitalis’ tidak bisa dipergunakan untuk ideologi ekonomi. Koperasi ataupun UMKM termasuk ke dalamnya,” ujarnya.
Sedangkan mengenai dalil Pemohon terhadap aturan mengenai pemilihan pengawas dalam UU Perkoperasian yang akan memperbesar kekuasaan pengawas, Bagong menbantahnya. Menurut Bagong, hal tersebut hanyalah asumsi Pemohon. “Itu hanya kekhawatiran Pemohon saja. UU Perkoperasian ini justru memberi kewenangan dan hak lebih besar kepada anggota koperasi, misalnya mengenai aturan Rapat Anggota Tahunan,” jelasnya.
Hadir dalam sidang tersebut saksi Pemohon yang merasa dirugikan dengan berlakunya UU Perkoperasian. Dalam sidang sebelumnya, beberapa koperasi di Jawa Timur tercatat sebagai Pemohon dalam perkara ini, di antaranya Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-nisa’ Jawa Timur, Pusat Koperasi BUEKA Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, dan beberapa pemohon perseorangan.
Dalam pokok permohonannya, pemohon berkeberatan dengan Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal, 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian). Menurut Para Pemohon, pasal-pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional mereka yang dijamin oleh Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (2), Pasal 28H Ayat (4), serta Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945.
Pemohon menilai UU Perkoperasian inkonstitusional karena mengubah koperasi yang seharusnya usaha bersama menjadi usaha pribadi. Pemohon menganggap UU Perkoperasian hanya berorientasi pada makna koperasi sebagai entitas yang bernilai materialitas bukan pada prinsip kekeluargaan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selain itu, adanya ketentuan yang membagi koperasi dalam beberapa jenis justru memecah koperasi itu sendiri. Kondisi ini seakan memutilasi koperasi dan membentuknya seperti perusahaan. (Lulu Anjarsari/mh)