Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) mengajukan sengketa kewenangan antar lembaga negara ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini diregistrasi oleh kepaniteraan MK dengan Nomor Perkara 3/SKLN-XI/2013.
Dalam pokok permohonannya, Bawaslu RI mempersoalkan kewenangan membentuk Bawaslu Provinsi Aceh oleh DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). “Kewenangan konstitusional Pemohon yang diambil oleh DPRA adalah mengenai kewenangan dalam membentuk Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Aceh,” ungkap Anggota Bawaslu RI Endang Wihdatiningtyas dalam sidang Pendahuluan, Rabu (17/7) siang, di Ruang Sidang Panel MK.
Menurut Endang, kewenangan Bawaslu RI untuk membentuk Bawaslu Provinsi Aceh telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 73 ayat (4) huruf d dan e UU Penyelenggara Pemilu yang menyebutkan, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bawaslu berwenang: ... d. membentuk Bawaslu Provinsi; e. mengangkat dan memberhentikan anggota Bawaslu Provinsi.”
Namun menjadi persoalan ketika Tim Seleksi Anggota Bawaslu Provinsi Aceh yang dibentuk Bawaslu RI telah melaksanakan rekrutmen, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (selaku Termohon dalam perkara ini), malah menyampaikan keberatannya atas pembentukan Bawaslu Provinsi Aceh tersebut melalui Surat Nomor 160/2198, tertanggal 27 Agustus 2012.
“Termohon menafsirkan pembentukan Anggota Panwaslu Aceh berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 serta Qonun Aceh Nomor 7 Tahun 2007, dan tidak mengakui Panwaslu Aceh Bentukan dari Tim Seleksi Bawaslu RI, serta meminta Pemohon menghentikan segala bentuk seleksi Calon Anggota Panwas Aceh,” beber Endang.
Dalam surat tersebut, DPRA melandasi keberatannya dengan mengutip Pasal 60 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Di mana ayat (1) merumuskan, “Panitia Pengawas Pemilihan Aceh dan kabupaten/kota dibentuk oleh panitia pengawas tingkat nasional dan bersifat ad hoc.” Sedangkan ayat (3) menyebutkan, “Anggota Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), masing-masing sebanyak 5 (lima) orang yang diusulkan oleh DPRA/DPRK.”
Namun, kata Endang, sayangnya pemahaman Termohon atas ketentuan tersebut tidak komprehensif. Menurutnya, apabila dilihat secara utuh Pasal 60 UU Pemerintahan Aceh, maka yang dimaksud dengan Panitia Pengawas Pemilihan adalah Panitia Pengawas Pemilihan yang bersifat ad hoc untuk Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Provinsi Aceh. “Sementara Pemohon membentuk Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Aceh yang bersifat tetap sebagaimana amanat UU Nomor 15 Tahun 2011 serta untuk mengawasi Pemilu Nasional Anggota DPR, DPD, DPRD, di Provinsi Aceh.”
Sebelumnya, ujar Endang, Bawaslu RI juga sudah melakukan komunikasi dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada prinsipnya, anggota Komisi II DPR menyetujui proses yang dilakukan oleh Bawaslu RI terkait pembentukan Bawaslu Provinsi Aceh dalam rangka Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. “Akan tetapi, Anggota Komisi II DPR RI juga menyarankan agar Komisi II DPR RI, Anggota DPR RI Dapil Aceh, dan Bawaslu mengkomunikasikan dengan DPRA terkait pembentukan Bawaslu Provinsi Aceh,” katanya.
Pada 19 April 2013, Gubernur Aceh juga telah melayangkan surat kepada Bawaslu RI yang pada pokoknya meminta Bawaslu RI untuk meninjau ulang proses pembentukan Bawaslu Provinsi Aceh dan melanjutkan pertemuan untuk mencari solusi dalam penyelesaian permasalahan kewenangan rekrutmen calon anggota Bawaslu Provinsi Aceh.
Hingga akhirnya, dengan adanya serangkaian penolakan terhadap Bawaslu Provinsi Aceh yang dibentuk oleh Bawaslu RI oleh DPRA, menyebabkan Bawaslu Provinsi Aceh tidak dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya. Oleh sebab itu dalam petitumnya, Bawaslu RI meminta MK untuk menyatakan Bawaslu RI memiliki kewenangan konstitusional untuk membentuk Bawaslu Provinsi Aceh yang bersifat tetap. (Dodi/mh)