Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Rumah Sakit yang dimohonkan oleh PP Muhammadiyah, Senin (15/7). Pada sidang kali ini Pemohon kembali menghadirkan saksi untuk membuktikan dalilnya bahwa UU Rumah Sakit yang mengatur tentang rumah sakit harus berbadan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan telah merugikan Pemohon.
Pada persidangan kali ini, Pemohon menghadirkan Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial pada PP Muhammadiyah, Atikah M. Zaki. Atikah menyampaikan bahwa organisasi Aisyiyah turut merasakan akibat dari ketentuan rumah sakit harus berbadan hukum. Hal itu terjadi karena Asyiyah sebagai lembaga yang memiliki misi untuk meningkatkat harkat martabat kaum wanita di Indonesia juga memiliki amal usaha yang bergerak di berbagai bidang.
Amal usaha yang dimiliki Aisyiah adalah lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, lembaga kesejahteraan sosialn ekonomi dan pemberdayaan masyarakat. Khusus untuk lembaga kesehatan, Aisyiah memiliki Rumah Sakit Ibu dan Anak, Rumah Bersalin, sampai klinik. “Semua amal usaha tersebut mencantumkan Muhammadiyah dalam perizinannya sebagai badan hukum. Apakah amal usaha yang sedemikian banyaknya yang telah berhasil mencerdaskan bangsa Indonesia harus bubar karena terganjal undang-undang. Terhadap amal usaha kesehatan yang dimiliki Aisyiah mulai terasa sejak Undang-Undang Rumah Sakit diberlakukan,” ujar Atikah.
Konkritnya, amal usaha kesehatan yang dimiliki Aisyiah menjadi kesulitan dalam mendapatkan izin maupun untuk memperpanjang izin karena harus berbadan hukum sendiri sebagai lembaga kesehatan, tidak bisa menggunakan Muhammadiyah. Selain itu, Atikah mengungkapkan klinik-klinik kesehatan yang dimiliki Aisyiah tidak bisa menjadi klinik pratama di Dinas Kesehatan karena harus mendaftar ulang terlebih dulu. Padahal, enam bulan lagi akan diberlakukan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) sehingga amal usaha yang dimiliki Aisyiah tidak bisa mengikuti program tersebut. “Aisyiah paling merasakan dampaknya karena sekitar 218 rumah bersalin, Klinik Ibu dan Anak, balai kesehatan masyarakat dan lainnya harus berubah statusnya menjadi pratama namun terganjal izinnya,” ungkap Atikah.
Atikah melanjutkan bahwa Muhammadiyah mendirikan rumah sakit semata-mata untuk kemashlahatan masyarakat luas, terutama masyarakat miskin. Hal itu terlihat dari laba yang didapat amal usaha kesehatan Muhammadiyah yang dikembalikan lagi kepada masyarakat maupun hanya untuk pengembangan rumah sakit.
Atikah pun menegaskan bahwa seharusnya pemerintah berterima kasih kepada Muhammadiyah dan Aisyiah karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membangun dan mengelola lembaga kesehatan. Terlebih Muhammadiyah tidak meminta imbalan apapun kepada pemerintah setelah selama hampir 100 tahun membangun amal usaha kesehatan. Namun, usaha amal kesehatan Muhammadiyah tersebut terancam hancur hanya karena adanya ketentuan yang mengatur bahwa rumah sakit yang didirikan oleh swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan. (Yusti Nurul Agustin/mh)