Setelah belasan tahun kita menghirup udara di era reformasi, rupanya krisis reformasi belum juga dapat dituntaskan. Pasca perubahan UUD 1945 yang mengimplikasikan perubahan mendasar dan signifikan bagi penyelenggara kehidupan berbangsa dan bernegara, pemimpin-pemimpin formal diniscayakan lahir dari sistem yang lebih demokratis.
Demikian diutarakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam acara Pelantikan Kader Paripurna Taruna Melati Utama, di Auditorum Universitas Muhammadiyah Makasar (UMM), Jumat (12/7).
“Momentun reformasi yang dulu kita lakukan sejak tahun 1998, sebenarnya bermaksud untuk memperbaiki aspek kepemimpinan, baik dari sisi mekanisme perekrutan maupun kualitasnya. Harapannya akan lahir pemimpin-pemimpin yang betul-betul berbasis pada rasionalitas masyarakat, berkompeten, punya visi, dan berintegritas, bukan lagi hanya sekedar mengandalkan karisma dan legitimasi tradisional,” ujar Akil Mochtar.
Akil juga mengatakan, pemimpin adalah sosok yang dengan segenap potensi kemenangan yang ada, mampu memotivasi, mengarahkan dan menggerakan orang lain untuk secara sadar dan sukarela berpartisipasi dan berkontribusi mencapai tujuan organisasi. Sedangkan kepemimpinan adalah kemampuan yang harus dimilki oleh seorang pemimpin dan memimpin organisasi.
Antara pemimpin dan kepemimpinan tidaklah selalu identik. Karena itu ada adagium yang sangat populer. Karena Seorang pemimpin dibentuk, bukan dilahirkan. “Agar proses pembentukan dan penempatan kepemimpinan berjalan sukses, maka karakter dan nilai dasar kepemimpinan merupakan persyaratan utama yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi pemimpin yang baik.”
Di samping itu, seperti yang kita tahu dalam perspektif Islam ada empat sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin,yakni shiddiq, amanah, tabligh dan fathanah. Seorang yang mempunyai empat sifat dasar tersebut di harapkan dapat menjadi pemimpin yang baik.
Akil menambahkan, istilah negarawan sering dikaitkan dengan keberadaan politisi atau tokoh suatu negara yang sangat di hormati dan di segani publik, baik publik di level nasional maupun internasional. Serta pengertian negarawan terletak pada poin pemimpin yang bersedia menyudahi kepentingan dan ambisi pribadi, lalu menggantinya dengan supremasi kepentingan negara dan bangsa. ”Saya juga menemukan kenyataan bahwa seseorang biasanya disebut negarawan manakala dia sudah undur diri atau pensiun dari kiprahnya sebagai politisi atau pemimpin formal,” jelas Akil.
Akil mengajak mulai sekarang kita harus lebih cerdas dan bertanggung jawab dalam memilih pemimpin. Banyak lembaga survei hanya menekankan pada tiga aspek untuk melihat seorang layak atau tidak untuk menjadi pemimpin, antara lain, popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas dari seorang calon pemimpin.Tetapi ada persyaratan yang lebih penting dan harus dimiliki seorang pemimpin, yaitu moralitas dan integritas.
Sebelum menutup paparannya Akil menyampaikan, transformasi untuk mewujudkan kepemimpinan yang bermoral dan berintegritas itulah yang perlu kita dorong dan kita gerakkan sehingga negarawan-negarawan baru bisa kembali menjadi pemimpin Indonesia, dan semoga pelatihan ini mejadi salah satu ikhtiar penting untuk mencetak pemimpin-pemimpin bangsa yang berkarater negarawan.
Pada kesempatan itu juga hadir Ketua Pimpinan Pusat Muhamadiyah H. Dahlan Rais, Wakil Rektor Universitas Muhamadiyah Rahman Rahis, Kepala BNN Anang Iskandar, serta seluruh mahasiswa UMM. (Hamdi/mh)