Demokrasi merupakan sistem yang baik, namun dia tetap memiliki sisi gelap. Demokrasi tetap menghadirkan celah bagi terjadinya penyimpangan-penyimpangan oleh elit negara. Salah satunya adalah fenomena korupsi politik melalui mekanisme prosedural demokratis yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam praktiknya, fungsi anggaran yang dimiliki oleh DPR, khususnya Badan Anggaran (Banggar), telah menjadi arena bancakan bagi partai politik melalui anggotanya (para legislator) untuk mengeruk uang negara.
“Di mana kekuasaan formal yang diperoleh melalui prosedur demokratis dimanfaatkan dan didayagunakan untuk melakukan perburuan rente (rent seeking) terhadap sumber dana negara maupun dimanfaatkan untuk memperdagangkan otoritas atau pengaruh,” ungkap Pakar Politik AA GN Ari Dwipayana sebagai ahli Pemohon dalam Sidang Perkara Nomor 35/PUU-XI/2013 pada Kamis (11/7) siang, di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Ari, korupsi politik di Indonesia telah berlangsung secara sistemik. “Korupsi politik bukan semata-mata persoalan moral individual, melainkan problem yang melekat dalam struktur peluang politik yang tersedia.”
Ari berpandangan, permasalahan korupsi politik berupa perburuan rente tersebut merupakan wujud dari strategi parpol untuk mencari sumber pendanaan alternatif di tengah krisis finasial yang dihadapi oleh parpol dalam konteks multipartai kompetitif. Kondisi ini merupakan dampak dari kondisi parpol yang kesulitan menggalang dana secara internal.
Hal itu kemudian diperparah dengan begitu besarnya kewenangan yang disematkan kepada Banggar dalam melaksanakan fungsi penganggaran DPR. Di mana Banggar bersifat tetap dan memiliki kewenangan untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) bersama Pemerintah. Sehingga Banggar dapat berperan sebagai supra komisi dalam membahas RUU APBN. “Hal ini membuat ruang manuver politik yang cukup besar, mulai hulu sampai hilir,” ungkap Ari.
Oleh karenanya, tak heran jika parpol berlomba-lomba menempatkan bendaharanya untuk duduk di Banggar. “Atau menempatkan orang yang bisa bermain anggaran,” tutur Staf Pengajar Politik di Universitas Gadjah Mada ini.
Begitu juga terhadap mekanisme pembintangan dalam pembahasan anggaran. Dengan adanya pembintangan tersebut, menurut Ari, semakin membuka peluang perburuan rente dan transaksi yang ujung-ujungnya akan melanggar hukum. Oleh karenanya, ia menyarankan untuk dilakukannya rekonstruksi atas keberadaan Banggar DPR. “Banggar menjadi badan ad hoc yang mempunyai kewenangan sinkronisasi proses penganggaran di komisi-komisi,” sarannya.
Pengamat Sosial dan Politik Kuskridho Ambardi, juga memiliki pandangan yang hampir serupa. Sebagai ahli Pemohon, dia juga mengungkapkan bahwa pemusatan kekuasaan penganggaran di Banggar telah melahirkan peluang besar bagi praktik koruptif yang sudah tentu kontraproduktif. “Dalam praktik, di mana ada kekuasaan yang berlipat-lipat, maka di sana terbuka bahaya,” tegasnya.
Indikasi tersebut semakin kuat setelah dia melakukan penelitian pada medio 2005 – 2008 silam. Dalam penelitiannya ia melakukan studi terkait pendanaan parpol, khususnya sumber dana parpol. Informasi digali dari para pengurus parpol, khususnya bendahara. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya 1/3 dari total anggaran parpol yang masih dapat dipertanggungjawabkan sumbernya. Di mana secara teori, sumber dana parpol antara lain dari iuran anggota, sumbangan pengurus, sumbangan tidak mengikat, dan Pemerintah. Sedangkan 2/3 sisanya, yang tidak dilaporkan, kemungkinan besar diperoleh dari cara-cara ilegal, yang salah satunya melalui perburuan rente. “Mungkin di sana juga untuk pribadi,” imbuhnya.
Usai memaparkan pandangannya, kedua ahli tersebut kemudian menjawab beberapa pertanyaan baik dari Pemohon maupun para Hakim Konstitusi. Adapun untuk sidang selanjutnya, akan digelar pada Kamis (25/7) di Ruang Sidang MK, pukul 10.30 WIB. Rencananya, Pemohon akan menghadirkan pihak Komisi Pemberantasan Korupsi dan beberapa ahli lainnya untuk didengarkan keterangannya. (Dodi/mh)