Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengawal dan penjaga konstitusi menjamin perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat guna mendukung percepatan kegiatan otonomi daerah. Hal ini dirasa perlu dilakukan mengingat masyarakat hukum adat menjadi salah satu unsur penting berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, terkait keberadaannya yang telah ada jauh sebelum Indonesia diproklamirkan. Demikian antara lain disampaikan Ketua MK M. Akil Mochtar pada acara Lokakarya Pemberdayaan Hak Masyarakat Hukum Adat Mendukung Kegiatan Otonomi Daerah di Universitas Darma Agung, Medan, Sumatera Utara, Sabtu (6/7).
Pengakuan terhadap hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat tidak hanya diatur dalam UUD 1945, namun secara terintegrasi juga telah diadopsi dalam bentuk UU dan bahkan pada level peraturan daerah. Namun dalam perjalanannya, kalangan masyarakat hukum adat menyayangkan masih terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat yang kerap muncul pada level UU. Dari sudut pandang masyarakat hukum adat, pengaturan negara melalui UU, merupakan bentuk pembatasan negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Dan demi menegakan konstitusi, MK telah menyediakan mekanisme pengujian UU terhadap UUD 1945. “Telah disediakan pranata konstitusional untuk memulihkan hak-hak masyarakat hukum adat yang terlanggar oleh UU,” ujar Akil dihadapan sejumlah pejabat daerah Sumut, di antaranya Ketua DPRD, Saleh Bangun.
Akil menambahkan, dalam putusannya No.31/PUU-V/2007 tentang pembentukan Kota Tual, MK telah menetapkan sejumlah klasifikasi masyarakat hukum adat yang berhak mengajukan uji materi terhadap UUD 1945, satu diantaranya yaitu masyarakat hukum adat yang masih hidup, yang bersifat teritorial, geneologis dan fungsional, dan mengandung unsur adanya masyarakat, adanya pranata pemerintahan adat, adanya harta kekayaan dan atau benda-benda adat, adanya perangkat hukum adat, memiliki wilayah teritorial yang jelas dan memiliki norma yang tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
Salah satu bukti keberpihakan MK dalam melindungi hak masyarakat hukum adat dapat dilihat pada putusan No. 55/ PUU-VIII/2010 dalam perkara pengujian UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dimana MK telah membatalkan ketentuan pasal 21 dan 47 ayat 1 dan 2 UU Perkebunan, karena ketentuan tersebut dianggap hanya menguntungkan pengusaha tetapi mengabaikan hak-hak masyarakat lokal sebagai pemilik ulayat hak atas tanah. “Segala upaya dan tindakan yang mengabaikan atau merugikan hak konstitusional masyarakat hukum adat adalah tidak dapat dibenarkan,” tegas Akil.
Diharapkan melalui forum ini, dapat ditemukan kesepakatan antara pemerintah daerah dan masyarakat hukum adat untuk merumuskan poin-poin strategis yang dapat meningkat kesadaran seluruh pihak untuk bersinergi guna mendorong percepatan otonomi daerah demi kesejahteraan seluruh masyarakat, teristimewa masyarakat hukum adat di tanah Batak. (Agung Sumarna/mh)