Otonomi pendidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) justru memudahkan akses kepada masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Bagir Manan ketika memberikan keterangan sebagai Ahli Pemerintah pada Rabu (3/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Otonomi pendidikan dalam UU Dikti tidak bertentangan karena otonomi tidak terlepas dengan pengawasan negara. Otonomi berkaitan dengan pengawasan yang dilakukan dengan pemerintah. Tak hanya itu, otonomi justru memudahkan akses kepada publik,” ujarnya.
Mengenai biaya pendidikan yang tinggi akibat berlakunya UU Dikti, Bagir mengungkapkan banyak skema bagi mahasiswa yang kurang mampu. “Ada skema beasiswa, skema mahasiswa yang tidak mampu,” jelasnya.
Sementara itu, Emil Salim menjelaskan UU Dikti memang dibuat untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia guna meningkatkan teknologi yang ada. Menurut Emil, pendidikan Indonesia bersifat dinamis, untuk itu cepat diperlukan kebebasan birokrasi keuangan dan birokrasi lainnya. “Hal ini agar bisa bebas dalam menghadapi daya saing globalisasi,” katanya.
Emil juga menjelaskan semakin tinggi kualitas ilmu, maka semakin mahal pendidikan adalah hal yang wajar. Akan tetapi, lanjut Emil, perlu dilihat dari segi keadilan dan harus dipisahkan antara biaya pendidikan dan pembayaran. “Pembayaran bisa ditempuh dengan dilakukan dengan dengan penyamarataan. Menggali sumber-sumber pembiayaan pendidikan dengan melalui beasiswa atau kerja sama dengan pihak ketiga,” paparnya.
Dalam sidang tersebut, Pemohon mengajukan tiga orang saksi yang kesemuanya mahasiswa. Nurul Pratiwi, salah satunya mengemukakan bahwa ia berhenti menjadi mahasiswa UI akibat adanya UU Dikti yang mengakibat biaya pendidikan di UI menjadi tak terjangkau. “Seminggu kemudian setelah saya masuk, saya berhenti dari UI karena bagi keluarga saya, dana pendidikan senilai Rp7.500.00,00 sangat memberatkan,” ujarnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang terdiri dari Moh. Junaidi (Pemohon I), Ahmad Rizky Mardhatillah Umar (Pemohon II), Aida Milasari (Pemohon III), dan Yogo Danianto (Pemohon IV), mendalilkan bahwa norma hukum yang dikandung dalam UU PT telah mengatur hingga sampai pada hal-hal teknis, terutama terkait pengelolaan keuangan, yang pada akhirnya menghilangkan tujuan utama atau hakikat (raison d’etre) pendidikan tinggi serta melahirkan ketidakadilan bagi sejumlah anak bangsa. Faktanya, sejak beberapa perguruan tinggi negeri menjadi berbadan hukum berdasarkan UU PT, seperti Universitas Indonesia (kampus Pemohon I) dan Universitas Gadjah Mada (kampus Pemohon II), telah melahirkan sejumlah kebijakan kampus yang ujung-ujungnya menambah beban pembiayaan pendidikan kepada mahasiswa.
Karena itu, dalam tuntutan atau petitum permohonannya, Para Pemohon meminta MK untuk mengabulkan seluruh permohonannya. “Menyatakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan khususnya alinea Pembukaan UUD 1945, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1) dan (5) Undang-Undang Dasar 1945,” jelas Pemohon. (Lulu Anjarsari/mh)