Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Partai Politik yang dimohonkan oleh 11 Anggota DPRD Kabupaten/Kota, Senin (1/7). Pada sidang kali ini Para Pemohon menghadirkan Ahli Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin untuk menyampaikan keahliannya. Irman pada pokoknya mengatakan definisi Parpol dalam Pasal 16 ayat (3) UU Parpol tidak bisa disamaratakan antara anggota Parpol di DPR dengan anggota Parpol di DPRD Kabupaten/Kota.
Sebelumnya, Para Pemohon mengajukan Pengujian terhadap Pasal 16 ayat (3) UU Parpol yang berbunyi, “Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Para Pemohon menganggap seharusnya Pasal 16 ayat (3) hanya dapat diberlakukan bagi anggota legislatif yang partai politiknya sebagai peserta Pemilu Tahun 2014, bukan kepada para Pemohon. Sebab, akibat hukum dari Pasal 16 ayat (3) tersebut yakni adanya upaya melanggar hukum administratif yang dilakukan oleh partai politik yang mempunyai anggota legislatif berdasarkan hasil Pemilu Tahun 2009 namun tidak lolos verifikasi faktual untuk Pemilu Tahun 2014. Selain itu Para Pemohon menganggap pemberhentian keanggotaan para Pemohon dari partai politik adalah merupakan “keterpaksaan” yang diisyaratkan oleh Pasal 16 ayat (3) sehingga layak dikatakan bertentangan dengan Pasal 19 ayat (1) UUD 1945.
Terhadap hal itu, Irman mengatakan sebelumnya ketentuan Pasal 16 ayat (3) tersebut tidak bermasalah. “Ketentuan ini selama ini aman-aman saja, paling jauh adalah perdebatan pasal ini adalah tentang seputar, recall atau PAW oleh parpol yang anggotanya ‘nakal’. Namun pasal perkara menjadi lain ketika bahwa parpol yang mendapatkan kursi di DPRD ternyata banyak diantaranya yang tidak lagi menjadi peserta pemilu berikutnya di tahun 2014 nanti,” ujar Irman.
Pasalnya, ketentuan dalam Pasal 16 ayat (3) tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan norma dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyebutkan anggota DPR dan DPRD berhenti antar waktu karena meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan, atau anggota DPR dan DPRD diberhentikan antara waktu salah satu penyebabnya adalah diberhentikan sebagai anggota partai politik dan/atau menjadi anggota partai politik lain. Pemberhentian anggota DPR dan DPRD tersebut diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dan DPRD.
Dari ketentuan tersebut menunjukkan bahwa berhentinya seorang anggota DPR dan DPRD karena menjadi anggota partai politik lain bukan karena meninggal dunia atau mengundurkan diri, namun karena diberhentikan. “Oleh karenanya, pemberhentian anggota DPR dan DPRD bergantung pada pengusulan parpol bersangkutan pada pimpinan DPR atau DPRD. Artinya, bahwa sepanjang tidak terdapat pengusulan dari parpol, maka yang bersangkutan tetap menjalankan tupoksi sebagai wakil rakyat. Namun menjadi agak kabur ketika dalam UU No. 2 Tahun 2011 disebutkan bahwa anggota partai politik diberhentikan keanggotaannya dari partai politik apabila salah satunya menjadi anggota partai politik lain dan tata cara pemberhentiannya tergantung pada AD/ART. Kemudian, bila anggota partai politik diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, maka pemberhentian dari keanggotaan partai politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” papar Irman.
Di akhir penjelasannyua, Irman mengatakan seseorang yang menjadi caleg dari partai tertentu yang telah meninggalkan partainya dan notabene tidak terdaftar sebagai peserta pemilu harus ditafsirkan bahwa parpol yang sebelumnya, yang tidak lagi menjadi peserta pemilu, harus memberhentikannya guna kepentingan pelaksanaan pemilu atau pelaksana pemilu mensyaratkan mereka mengundurkan diri. Sebab, hal tersebut bukanlah kebutuhan pelaksanaan pemilu karena berada dalam domain relasi parpol dan DPR dalam domain kekuasaan pembentukan undang-undang.
Hal itu, lanjut Irman, dapat menimbulkan kekacauan yang bisa diakibatkan bahwa tafsir parpol dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Parpol berlaku secara umum. Tafsir tersebut kemudian dapat dijadikan jembatan intervensi lembaga penyelenggara pemilu yang sesungguhnya tidak berkepentingan melalui aturan yang merugikan hak konstitusional parpol atas kursi DPRD. “Oleh karenanya sepanjang frasa ‘partai politik’ harus diartikan tidak termasuk pada partai politik yang bukan peserta pemilu dan tidak berkehendak untuk mengusulkan pemberhentian kepada pimpinan DPR atau DPRD sebagai anggota DPR dan DPRD. Karena jikalau diterapkan, maka akan menimbulkan kekacauan konstitusional yang akan mengancam kehidupan konstitusional kita,” tukas Irman. (Yusti Nurul Agustin/mh)