Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2/2008 tentang Partai Politik - Perkara No. 45/PUU-XI/2013 - pada Senin (1/7) siang. Dalam persidangan, dua ahli dihadirkan oleh pihak Pemohon (Sefriths E. D. Nau dkk.).
Ahli pertama yang memberikan pendapat adalah Bernard L. Tanya. Dijelaskan Bernard, Pasal 8 ayat (1) huruf c UU Penyelanggara Pemilu memberi kewenangan yang terlampau longgar kepada KPU tanpa dipagari rambu-rambu yang jelas. Akibatnya, terbuka ruang yang cukup lebar bagi munculnya aturan dan keputusan teknis yang bersifat eksesif dan boleh jadi secara langsung maupun tak langsung dapat menciderai hak konstitusional warga negara.
“Kekhawatiran tersebut sudah terjadi, antara lain melalui Peraturan KPU No. 07/2013 tepatnya Pasal 19 huruf I yang mengsyaratkan para Pemohon Prinsipal untuk membuat surat pernyataan pengunduran diri dari partai politik yang mengusung para Pemohon dalam Pemilu Legislatif 2009 yang tidak dapat ditarik kembali,” papar Bernard.
Konsekuensinya, anggota parpol dimaksud diberhentikan keanggotaannya. “Sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, sebagaimana diubah dengan UU No. 2/2011. Maka pemberhentian tersebut diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat,” tambah Bernard.
Menurut Bernard, ketentuan tersebut tidak hanya bersifat ultra vires, karena KPU telah menerobos kewenangan parpol. Tetapi juga berpotensi melampaui batas-batas pembatasan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 28J Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945.
“Selain itu, ketentuan tersebut menghalangi para Pemohon untuk memenuhi hak konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1), 28C Ayat (2), 28D Ayat (1) dan Ayat (3), 28I Ayat (2) UUD 1945,” tegas Bernard.
Lebih luas
Sementara itu ahli kedua bernama Samuel F. Lena, menjelaskan bahwa dalam UU Penyelenggara Pemilu memang ada ketentuan untuk mengundurkan diri bagi penyandang status sosial tertentu, seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri dan sebagainya. Namun tidak ada syarat pengunduran diri dan kelengkapan administrasinya bagi anggota-anggota DPRD yang partainya tidak lagi berstatus sebagai parpol peserta Pemilu.
“Ketentuan terkait pengunduran diri tersebut merupakan konsekuensi tak terhindarkan jika perpindahan tersebut terjadi dari satu partai politik peserta Pemilu ke parpol peserta Pemilu lainnya. Ini memang sinkron dengan ketentuan bahwa kandidat hanya bisa dan boleh dicalonkan oleh satu parpol peserta pemilu saja,” ungkap Samuel.
Dengan demikian, lanjut Samuel, ketika menetapkan syarat tambahan bagi Pemohon untuk membuat “surat pengunduran diri yang tak dapat ditarik kembali sebagai anggota parpol dan anggota DPRD” dan “surat keterangan pimpinan DPRD bahwa pemberhentian sebagai anggota DPRD sedang diproses” maka KPU telah menetapkan pedoman teknis yang substansinya lebih luas dari ketentuan perundang-undangan yang dijabarkan dalam pedoman teknis tersebut. (Nano Tresna Arfana/mh)