Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pembacaan putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Mineral dan Batubara yang dimohonkan oleh Hazil Ma’ruf selaku pengusaha tambang batu bara skala kecil yang juga merupakan penduduk asli Pulau Bangka, Kamis (27/6). Dalam putusan yang dibacakan langsung oleh Ketua MK M. Akil Mochtar, Mahkamah menolak seluruh permohonan Pemohon karena permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
“Amar Putusan. Mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Akil membacakan amar putusan MK di Ruang Sidang Pleno MK dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya, kecuali Hakim Konstitusi Harjono.
Sebelumnya Pemohon keberatan dengan bunyi Pasal 125 ayat (2) UU Minerba sepanjang frasa “klasifikasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh menteri”. Pemohon menilai frasa tersebut bernilai diskriminatif terhadap pengusaha tambang, terutama pengusaha tambang skala kecil karena kontradiktif dan diskriminatif, apalagi menurut Pemohon syarat mendirikan badan-badan usaha seperti koperasi perizinannya tidak wajib harus dari Menteri.
Selain itu Pemohon juga menguji Pasal 126 ayat (1) dan ayat (2) yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut.
Pasal 126
(1) Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang diusahakannya, kecuali dengan izin Menteri.
(2) Pemberian izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila: a. tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis di wilayah tersebut; atau b. tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang berminat/mampu
Pasal 126 tersebut menurut Pemohon merupakan bentuk aturan yang bertujuan memonopoli hasil sumber daya alam dengan tidak sedikitpun memikirkan kehidupan rakyat sekitar sehingga mengakibatkan PT Timah memberhentikan sistem kemitraan. Diyakini Pemohon hal tersebut berakibat ratusan masyarakat yang tetap bekerja di tambang ditangkap oleh pihak kepolisian dan dijebloskan ke dalam penjara dan ribuan orang menjadi pengangguran.
Selain kedua pasal tersebut, Pemohon juga mengajukan Pengujian terhadap Pasal 127 UU yang sama. Menurut Pemohon frasa “mengenai penyelenggara usaha jasa pertambangan kemudian diatur oleh peraturan menteri” dalam Pasal 127 UU Minerba merupakan bentuk arogansi penguasa kepada rakyatnya, sehingga rakyat tidak diberikan ruang sedikitpun untuk bernafas.
Pendapat Mahkamah
Setelah melewati serangkaian persidangan, mendengarkan keterangan saksi, ahli, Pemerintah, sampai DPR, dan memeriksa bukti-bukti, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Mahkamah berpendapat ketentuan klasifikasi dan kualifikasi dalam Pasal 125 ayat (2) UU Minerba tidak bersifat diskriminatif. Pasalnya, ketentuan tersebut tidak hanya berlaku bagi Pemohon tetapi juga berlaku bagi semua penyelenggara dan pelaksana usaha jasa pertambangan sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi masing-masing.
Mahkamah juga mengingatkan bahwa pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam mineral dan batubara tentu akan sangat berdampak langsung terhadap masyarakat yang berada di wilayah usaha pertambangan, baik dampak lingkungan maupun dampak ekonomi dalam hal ini kesejahteraan masyarakat di daerah setempat. Pengelolaan, eksploitasi, pengembangan, serta pendayagunaan mineral dan batubara yang dilaksanakan oleh Pemerintah ataupun pemerintah daerah bersama-sama dengan pelaku usaha jasa pertambangan, baik berupa badan usaha, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat tentunya tetap harus mengacu kepada sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing dengan tetap mendasarkan pada prinsip akuntabilitas, dan efisiensi yang berwawasan lingkungan.
Selain itu, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan kepada masyarakat secara terbuka dengan tujuan untuk memberi manfaat secara ekonomi dan sosial bagi kesejahteraan rakyat guna mempercepat pengembangan wilayah serta mendorong kegiatan ekonomi masyarakat, khususnya pengusaha kecil dan menengah, serta memajukan tumbuhnya industri penunjang pertambangan dengan tetap memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Terhadap ketentuan mengenai perizinan pertambangan minerba harus diatur dalam peraturan di bawah undang-undang, Mahkamah menilai hal itu sudah dan sesuai dengan semangat konstitusi sehingga industri pertambangan dapat memberi manfaat ekonomi dan sosial sebesar-besarnya bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. (Yusti Nurul Agustin/mh)