Pasal 21 ayat (5) UU KPK yang menyatakan Pimpinan KPK bekerja secara kolektif bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang yang luar biasa yang dimiliki KPK. Untuk itu, dalam proses pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan KPK.
Keterangan tersebut disampaikan M. Nurdin, anggota Komisi III DPR, dalam sidang pengujian Pasal 21 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Rabu (26/6) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagai contoh, untuk meningkatkan status ke penyidikan dan penetapan seseorang menjadi tersangka merupakan salah satu bentuk pengambilan keputusan yang harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan KPK setelah terpenuhinya dua bukti permulaan yang cukup. “Sebab, begitu ditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah kasus korupsi oleh KPK, membawa konsekuensi akan dibawa sampai ke pengadilan,” papar Nurdin.
Menurut pendapat DPR, frasa “bekerja secara kolektif” yang termuat dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (5) UU KPK tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana diatur Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. DPR berpendapat, makna frasa tersebut keberadaannya sangat diperlukan untuk memenuhi prinsip kehati-hatian, akuntabel, transparan dan menjunjung tinggi hukum tanpa sedikit pun toleransi atas penyimpangan.
Extraordinary Crime
Nurdin juga menjelaskan bahwa praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam penyelenggaraan negara di Indonesia sudah sangat serius merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya dapat menghambat perwujudan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dikatakan Nurdin, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN, DPR sebagai lembaga pembentuk UU bersama Presiden telah membuat UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, maupun UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001.
Nurdin melanjutkan, pembentuk UU menyadari sepenuhnya, pemberantasan tindak pidana korupsi penanganannya tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya. Oleh karenanya, dalam ketentuan Pasal 43 UU Tipikor telah diperintahkan untuk membentuk KPK yang bertugas melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
“KPK memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan atas kejahatan tindak pidana korupsi,” ujar Nurdin kepada pimpinan sidang Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar yang didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Sementara itu, Mualimin Abdi dari Pihak Pemerintah mengatakan bahwa tuntutan reformasi antara lain mengamanatkan agar pemberantasan KKN dalam praktik penyelenggaraan negara, dapat dilakukan berbagai perbaikan. Hal ini dituangkan dalam Ketetapan MPR No. 8/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Tindak Pidana KKN. “Sebagai amanat dan arah kebijakan Ketetapan MPR itu, maka yang paling penting adalah adanya amanat untuk membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Mualimin.
“Karena korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, maka penanganannya juga harus dilakukan secara luar biasa, dilakukan lembaga yang tepat dan benar-benar bersih. Oleh karena itu KPK diharapkan dalam mengemban tugasnya dalam upaya pemberantasan KKN,” tandas Mualimin.
Sebagaimana diketahui, permohonan uji materil ini diajukan oleh M. Farhat Abbas dan Narliz Wandi Piliang, dengan kuasa hukumnya Windu Wijaya dkk. Pemohon melakukan pengujian terhadap Pasal 21 ayat (5) UU No. 30 Tahun 2002 yang menyebutkan, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif.” (Nano Tresna Arfana/mh)