Pemohon dalam Perkara Nomor 35/PUU-XI/2013 perihal pengujian Undang-Undang tentang Keuangan Negara serta Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah kembali menghadirkan ahli dalam persidangan Senin (24/6) siang, di Ruang Sidang Pleno MK.
Hadir dua ahli dari Pemohon yakni Direktur Pusat Kajian Keuangan Negara dan Daerah Universitas Patria Artha, Makassar Siswo Sujanto serta Guru Besar Ilmu Ekonomi Kelembagaan Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika. Kedua ahli ini memberi keterangan terkait keberadaan serta kewenangan badan anggaran di DPR sebagaimana dipersoalkan Pemohon.
Menurut Siswo Sujanto, dari sisi politis, keberadaan badan anggaran DPR dalam penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sangatlah penting. Dia menilai, keberadaan lembaga ini sangat penting dalam proses penentuan anggaran. “Oleh karena itu keberadaan lembaga tersebut menurut undang-undang sudah sesuai dengan kebutuhan,” ujarnya.
Namun sayangnya, kata dia, dalam praktik yang berkembang, keinginan untuk menghapus keberadaan banggar diwarnai kepentingan pribadi atau sekelompok orang. “Segala peraturan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan pribadi seharusnya dihapuskan,” sarannya.
Adapun terkait persetujuan anggaran oleh lembaga legislatif yang sangat terperinci, menurutnya, hal ini merupakan perwujudan prinsip spesialisasi anggaran. Dimana pada hakikatnya, pembahasan anggaran yang sangat terperinci adalah untuk memudahkan lembaga legislatif dalam melakukan pengawasan agar eksekutif tidak melakukan penyimpangan alokasi anggaran. Meskipun begitu, rinci atau tidaknya penetapan anggaran, lanjutnya, memang sangat tergantung pada kebutuhan dan kultur masing-masing negara.
Faktanya, kata dia, efektifitas pengawasan lembaga legislatif terhadap APBN berbanding terbalik dengan rinci tidaknya anggaran yang ditetapkan. “Artinya semakin rinci anggaran yang ditetapkan, akan semakin efektif dan mudah bagi DPR untuk melakukan pengawasan dan semakin sulit lembaga eksekutif melakukan penyimpangan terhadap persetujuan yang telah diberikan.”
Menurut Siswo, sudah semestinya anggota legislatif berpikir dalam konteks makro strategis dan berpikir konsepsional serta tidak menyambut hal itu dengan euforia yang berlebihan. Dia kemudian berkesimpulan, sebenarnya ketentuan yang diuji oleh Pemohon adalah sudah baik, namun dalam praktiknya terdapat penafsiran yang kurang tepat yang perlu dilakukan perbaikan. “Agar tidak menimbulkan moral hazard yang didasari kepentingan individu atau penguasa atau kelompok,” imbuhnya.
Adapun ahli lainnya, Ahmad Erani Yustika berpendapat bahwa politik anggaran semestinya merupakan instrumen ideologis, bukan instrumen teknokratis. “Artinya, konstitusi kita, dasar negara kita, yang memiliki pesan-pesan penting itu secara ideologis harus termaktub dalam fungsi stabilisasi alokasi maupun dstribusi anggaran pendapatan belanja negara,” paparnya. Jangan sampai, ujarnya, alokasi anggaran kita sama dengan negara-negara lain yang memiliki ideologi berbeda.
Selain itu, menurutnya, kalaupun ingin melakukan perubahan APBN, maka haruslah disertai dengan indikator-indikator terukur. Misalnya adanya indikasi batas defisit fiskal maksimal yang akan terlampaui atau ketidakseimbangan primer. “Harus ada ukuran-ukuran yang past,” tegasnya. (Dodi)