Sidang Perkara No. 21, 34 dan 36/PUU-XI/2013 - Pengujian UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 3/ 2009 tentang perubahan kedua UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung – digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (20/6) siang.
Pemohon adalah Boyamin (Perkara No. 21), Antasari Azhar (Perkara No. 34), dan I Made Sudana (Perkara No. 36). Dalam persidangan, hadir Ahli Pemohon dan Saksi Pemohon Perkara No. 34 yang didampingi kuasa hukumnya Arif Sahudi.
Jamin Ginting, Ahli yang diajukan Antasari menjelaskan upaya Peninjauan Kembali (PK) dari sisi hukum pidana, termasuk konteks upaya PK itu, dapatkah dilakukan sekali, dua kali atau tiga kali atau empat kali dan seterusnya.
“Upaya penegakan hukum dan mencari keadilan merupakan salah satu hak asasi manusia yang diperjuangkan sampai batas akhir. Walaupun keadilan itu sendiri sebenarnya masih dirasakan samar. Sebagian orang berpendapat, putusan lembaga pengadilan merupakan hasil akhir yang harus diterima dari suatu perkara. Namun dalam perkembangannya, putusan pengadilan tidak lagi menjadi suatu putusan yang harus diterima begitu saja,” urai Jamin.
Dikatakan Jamin, paradigma yang berubah pada waktu dan tempat tertentu membuat keadilan itu dapat berubah menurut waktu dan tempat tertentu pula. Sehingga negara memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengajukan upaya PK sebagaimana disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
“Peninjauan Kembali bukanlah hal baru bagi perkembangan hukum di Indonesia. Peninjauan Kembali di Indonesia memiliki kesamaan filosofi dengan sistem hukum Perancis dan Belanda. Berdasarkan asas konkordansi yang kita ketahui, penerapan ketentuan hukum negara penjajah kepada negara jajahannya, maka sistem hukum acara tersebut diterapkan di Belanda dan juga di Indonesia,” jelas Jamin.
Selain itu, ungkap Jamin, Peninjuan Kembali sebagai jalan untuk memperbaiki kealpaan hakim yang merugikan si terhukum. Hakim adalah manusia biasa yang lemah, yang tidak dapat terhindar dari kekeliruan atau kesalahan. Di samping itu mungkin pula terjadi hal-hal yang berada di luar kemampuan hakim, baru kemudian muncul sesuatu yang baru yang dapat dijadikan bukti.
“Kelahiran putusan peraturan Mahmakah Agung mengenai Peninjauan Kembali tidak dapat dipisahkan dengan kasus Sengkon dan Karta. Kasus tersebut mejadi perhatian karena dilihat sebagai kesesatan peradilan di Pengadilan Negeri Bekasi. Selama lebih dari tujuh tahun, Sengkon dan Karta dirampas kemerdekaanya oleh negara yang kemudian terbukti bahwa ia tidak bersalah,” papar Jamin
Sementara itu, Muchtar Pakpahan selaku Saksi yang juga diajukan oleh Antasari menuturkan pengalamannya pada peristiwa kerusuhan di kantor Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Jakarta pada 27 Juli 1996, yang terkenal dengan 27 Juli kelabu. Ia dituduh terlibat dalam kejadian tersebut.
“Dengan alasan itu, saya ditahan. Selanjutnya saya juga dituduh melakukan tindak subversif melalui rangkaian buku tulisan saya Potret Negara Indonesia, yang seluruh buku itu mengusulkan perlu ada reformasi di Indonesia. Kata reformasi itu yang dituduh jadi subversif,” jelas Muchtar.
Pengalaman lainnya dari Muchtar, terkait kasus yang terjadi di Semarang, ketika ia diundang menjadi pembicara seminar di hadapan para pensiunan tentara Angkata 45. Namun, saat Muchtar baru berbicara selama 10 menit, pihak petugas memintanya berhenti bicara. “Saya ditangkap dan ditahan di Semarang selama 21 hari, dengan alasan mengganggu Pemerintahan Republik Indonesia. Hingga meletus reformasi 1998, Presiden Habibie mengeluarkan keputusan yang isinya membebaskan saya dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang sesuai dengan tuntutan reformasi,” cerita Muchtar.
“Begitu saya dibebaskan, ancaman pidana, dakwaan subversif, sangkaan melawan pemerintah dihentikan,” tambah Muchtar. (Nano Tresna Arfana)