Koperasi sebagai bagian dari demokrasi ekonomi harus melibatkan masyarakat, bukan mengerucut pada satu kelompok masyarat seperti saat ini. Demikian disampaikan Ahmad Erani Yustika selaku Ahli Pemohon perkara dengan Nomor 28/PUU-XI/2013 dalam sidang yang berlangsung pada Rabu (19/6).
“Demokrasi ekonomi dipahami sebagai produksi sebagai kepemilikan anggota masyarakat, artinya masyarakat memiliki peranan kepemimpinan dalam ekonomi,” ujarnya.
Menurut Erani, Pasal 33 UUD 1945 bisa menjadi panduan yang lengkap menyusun panduan ekonomi dan memberikan maklumat secara terang-benderang kepada pemerintah dalam mengatur mengatur sumber daya alam. Dalam menjalankan proses ekonomi, lanjut Erani, intisari sudah diatur dalam Pasal 33 UUD 1945.
“Masyarakat juga harus terlibat dalam kegiatan produksi sebagai bentuk partisipasi dalam level pertama. Namun kenyataannya, masayarakat hanya mendapat peran sedikit sehingga bertentangan dengan Pasal 2 UUD 1945. Demokrasi ekonomi masyarakat turut seta memiliki modal dan jangan sampai produksi mengerucut hanya pada satu kelompok masyarakat seperti saat ini,” paparnya.
Sementara itu, ahli pemohon lainnya, Muhammad Ali Syafaat menjelaskan perkembangan ekonomi nasional yang cenderung kapitalis, tergantung pada modal asing dan menimbulkan ketimpangan kesejahteraan. Demokrasi ekonomi seharusnya sesuai dengan Pasal 33 ayat (4) menyatakan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
“Pasal 33 ayat (4) ini sesungguhnya bisa memagari adanya ketimpangan ekonomi, kapitalistik, dan lainnya. Dari hal itu, tidak ada perubahan pemahaman mengenai asas perekonomian berdasarkan asas bersama,” ujarnya.
Dalam sidang tersebut, hadir pula saksi pemohon R. Nugroho dari Koperasi Joyoboyo, Kediri. Nugroho merasa dirugikan dengan berlakunya pasal yang diajukan pengujiannya oleh Pemohon. Koperasi Joyoboyo merupakan koperasi usaha simpan pinjam dan pertokoan. Ia merasa khawatir dengan adanya UU Perkoperasian maka Koperasi Joyoboyo harus memecah badan hukum yang berlaku menjadi tiga badan hukum, yakni badan hukum simpan pinjam, pertokoan dan usaha jasa. “Pemecahan badan hukum tersebut akan berakibat harus dibagi permodalan yang dimiliki Koperasi Joyoboyo. Ini tidak mudah. Selain itu, pemecahan ini akan memperlemah permodalan,” tukasnya.
Dalam sidang sebelumnya, beberapa koperasi di Jawa Timur tercatat sebagai pemohon dalam perkara ini, di antaranya Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-nisa’ Jawa Timur, Pusat Koperasi BUEKA Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, dan beberapa pemohon perseorangan. Dalam pokok permohonannya, pemohon berkeberatan dengan Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal, 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian). Menurut para pemohon, pasal-pasal a quo telah melanggar hak konstitusional mereka yang dijamin oleh Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (2), Pasal 28H Ayat (4), serta Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945. (Lulu Anjarsari)