Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki menjadi salah satu narasumber dalam Diskusi Kelompok Terbatas yang berlangsung di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat siang (14/06).
Dalam diskusi yang bertemakan “Penyamaan Persepsi Hutan Adat dalam Tata Kelola Sektor Kehutanan Pasca Putusan MK No. 35/2012 dalam Kaitan Rencana Aksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia”, Sodiki mengatakan, bahwa hak masyarakat hukum adat harus dilindungi dan dilestarikan. Karena hal ini telah ada dari dulu, dimana di tuliskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin hak dan perlindungan warga negara.
Adapun dalam putusan MK Nomor 35/2012 tentang Kehutanan, MK hanya ingin menegaskan wilayah hutan adat adalah tidak termasuk hutan negara. Karena itu, pemerintah harus ikut bertanggung jawab atas menentukan wilayah hutan adat dan dalam penentuan tersebut pemerintah harus melibatkan pemangku kepentingan yang ada di daerah wilayah hutan adat, bukan sembarangan mengatur wilayahnya demi kepentingan politik.
“Hutan adat itu ya hutannya masyarakat hukum adat, bukan hutan negara. Dan itu masih tanggung jawab pemerintah negara ini untuk melindunginya. Pemerintah juga tidak bisa melakukan kewenangannya untuk menentukan suatu wilayah hutan adat, demi kepentingan politik,” tegas Sodiki.
Selain itu, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang ini juga menyayangkan para pembentuk Undang- Undang Dasar pada waktu dulu yang tidak mengantisipasi adanya korban yang ada di dalam masyarakat hukum adat, apabila terjadi bentrok antara masyarakat hukum adat dengan pemerintah terkait wilayah hutan adat.
Undang-undang telah memberikan peluang yang istimewa kepada masyarakat hukum adat dan pemberian keistimewaan tersebut diberikan secara statis dan berlanjut. Hal tersebut berupaya untuk menjadikan masyarakat hukum adat dapat memajukan kesejahteraannya dalam segala hal.
“Masyarakat hukum adat sudah diberikan hak istimewa. Hak tersebut diberikan secara statis, serta hal itu dilakukan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat hukum adat dalam segala bidang, baik bidang ekonomi, maupun bidang sosial,” ujar Sodiki.
Selain Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, hadir pula narasumber lainnya yakni Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof. Dr. Maria SW Sumardjono yang memberikan ulasan tentang hak masyarakat hukum adat dalam konteks hukum agraria.
Dalam ulasannya, Maria setuju dengan putusan MK Nomor 35/2012, dimana menurutnya putusan tersebut telah menjamin dan memberikan pelindungan hak masyarakat hukum adat. Tetapi disisi lain Maria juga menyampaikan bahwa putusan MK tepat jika status hukum dikaitkan dengan subjek haknya. Tetapi jika status hukum dikaitkan dengan kewenangan subjek, maka keberadaan hutan adat kurang tepat bila dimasukkan dalam kelompok hutan hak, karena kewenangan subjek hak berbeda.
“Seharusnya MK memutuskan hutan adat itu dibedakan dengan hutan negara dan hutan hak, karena hutan hak subjeknya adalah orang perseorangan atau badan hukum, sedangkan hutan adat subjeknya adalah masyrakat hukum adat,” terang Maria.
Diskusi ini dihadiri dan diikuti oleh beberapa lembaga pemerintahan, antara lain yakni Komnas HAM yang diwakili oleh Komisioner Sandra Moniaga dan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mantan Anggota Komisi Yudisial Busyro Muqoddas. (Panji Erawan/mh)