Mahkamah Konstitusi menandatangani nota kesepahaman dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga mengenai Penyebarluasan Informasi tentang Mahkamah Konstitusi dan Pengembangan Budaya Sadar Berkonstitusi, Jumat (14/6) di Convention Hall Kampus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Penandatanganan nota kesepahaman yang disaksikan langsung oleh Ketua MK, M. Akil Mochtar tersebut dilakukan oleh Sekretaris Jenderal MK, Janedjri M. Gaffar dan Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr. H. Musa Asyarie.
Melalui penandatanganan nota kesepahaman tersebut, MK dan UIN Sunan Kalijaga akan menjalin kerja sama dalam bidang pengelolaan dan pemanfaatan video conference MK, penyelenggaraan pendidikan Pancasila, Konstitusi, Kewarganegaraan, serta Hukum Acara MK. Kedua pihak juga akan menjalin kerja sama dalam hal peningkatan kualitas pendidikan tinggi hukum melalui berbagai penelitian tentang hukum serta penerbitan Jurnal Konstitusi.
Dalam sambutannya usai melakukan penandatanganan tersebut, Ketua MK M. Akil Mochtar memberikan apresiasi positif dan menyambut baik tercapainya kerja sama antara kedua pihak. Menurut Akil, kehadiran MK tidak lepas dari kontribusi dan peran besar perguruan tinggi yang menyuarakan pembentukan MK kepada para pengubah UUD 1945 yang akhirnya gagasan tersebut diakomodir dan disepakati untuk dibentuk. Hingga saat ini MK menjadi lembaga peradilan yang berwibawa dan terpercaya.
Ditegaskan Akil, melihat runutan sejarah itu, perguruan tinggi tidaklah asing bagi MK, bahkan menjadi friend of the court yang ikut mendukung dan menentukan arah perkembangan MK di masa-masa mendatang. “Karena hal itulah MK merasa memiliki kewajiban moral sekaligus komitmen untuk mengambil peran dan tanggung jawab dalam upaya meningkatkan kualitas perguruan tinggi,” terang Akil. Dirinya berharap, program dan kegiatan kerjasama yang tertuang dalam nota kesepahaman itu dapat segera terealisasikan.
Sementara dalam sambutannya, Rektor UIN Sunan Kalijaga, menyatakan kerja sama ini penting bagi UIN untuk lebih berperan untuk memajukan kesadaran berkonstitusi dan menumbuhkan kesadaran toleransi beragama di Indonesia.
HAM dan Agama
Usai acara penandatangan nota kesepahaman, Ketua MK didaulat menyampaikan kuliah umum di hadapan sivitas akademika UIN Sunan Kalijaga serta tokoh masyarakat Yogyakarta. Pada kuliah umum yang mengangkat tema Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam Perspektif Konstitusi itu, Akil mengatakan bahwa beragama dan kebebasan untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama merupakan hak setiap manusia, bahkan menjadi hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi sedikit pun.
Menurut Akil, memikirkan tema ini sama seperti memikirkan kemacetan ibu kota Jakarta yang ruwet dan rumit. Dijelaskan olehnya, dalam implementasinya pemenuhan hak tersebut tidak boleh dilakukan secara bebas dan sekuler seperti yang terjadi di negara-negara Barat. Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1999-2004 dan 2004-2009 itu menilai, pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dalam beragama harus selaras dengan filosofi, budaya dan struktur sosial masayarakat Indonesia, dalam arti HAM akan terpenuhi jika manusia juga memenuhi kewajiban asasinya.
Lebih lanjut, pria kelahiran Putussibau, Kalimantan Barat itu menjelaskan perlunya pengaturan negara terhadap warga negara dalam menjalankan agamanya. “Pengaturan itu bukan untuk mengintervensi kebebasan dan berkeyakinan, melainkan untuk memberikan perlindungan kepada warga negara dalam menjalankan agamanya agar senantiasa hidup rukun, toleran dan bersatu padu dalam membangun bangsa dan negara,” ujar Akil. Menurutnya, perlindungan itu juga harus dibarengi dengan perlindungan terhadap agama dari penodaan dan pelanggaran terhadap agama-agama.
"Hari-hari akhir ini, masih banyak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dengan mengatasnamakan agama kepada kelompok agama lain yg berbeda," sambung Akil. Sehingga pengaturan tersebut memang dibutuhkan, seperti yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Penodaan Agama.
Melihat perkembangan kehidupan beragama di Indonesia yang diwarnai diskriminasi oleh kelompok agama tertentu kepada kelompok agama lain, Akil menilai fakta tersebut bukan persoalan konseptual konstitusi, sehingga konsep dalam konstitusi tidak perlu lagi dipertanyakan. Karena yang terjadi ada pada persoalan implementasi ketentuan-ketentuan dalam konstitusi. Menurutnya, pasal-pasal dalam UUD yang mengatur kebebasan beragama belum ditegakkan secara efektif. Akil menegaskan, “perdamaian antar pemeluk agama akan terwujud manakala masing-masing pemeluk agama saling menghormati dan menghargai antara satu dengan lainnya.”
Dari sejarah pembahasan UUD 1945 terang Akil, para penyusun UUD sepakat untuk memasukkan norma yang mengatur kebebasan beragama, meski mayoritas pembentuk UUD adalah pemeluk agama Islam, tapi mereka tidak memaksakan penerapan syariat Islam. "Kebebasan beragama tidak boleh direduksi sebatas memilih dan memeluk agama, tapi juga pada toleransi dan menghormati sesama pemeluk agama," tukas Akil.
Menjawab pertanyaan peserta kuliah umum tentang pemaksaan nilai kebenaran dari kelompok mayoritas, Akil menegaskan, kelompok mayoritas belum tentu benar, oleh karena itu negara memberi jaminan untuk beragama dan berkeyakinan seperti diatur dalam konstitusi. "Mayoritas tidak boleh menjadi pemegang kebenaran dalam konteks hubungan antar umat beragama," terang Akil lebih lanjut. (Ilham/mh)