Mahkamah Konstitusi memutuskan ketentuan yang memua bahwat partai politik harus bersifat nasional tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan dengan Nomor 94/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua MK M. Akil Mochtar dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi pada Rabu (12/6) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Akil membacakan permohonan yang diajukan oleh Jamaludin dan Andriyani tersebut.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Mahkamah berpendapat tidak ada yang harus dipertentangkan antara prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan, prinsip kebebasan berserikat serta prinsip non-diskriminasi sebagaimana ditentukan dalam konstitusi dengan keharusan partai politik bersifat nasional sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang tersebut. Menurut Mahkamah, lanjut Hamdan, keharusan partai politik bersifat nasional, tidak sedikit pun mengurangi hak setiap orang untuk berserikat atau hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Setiap orang dapat berserikat dengan membentuk partai politik asal partai politik itu memenuhi syarat nasional sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang. Setiap orang dapat pula berpartisipasi dalam pemerintahan melalui partai politik yang ada atau bentuk partisipasi lainnya tanpa ada partai politik lokal. Demikian pula halnya pembatasan partai politik harus bersifat nasional tidak mengandung diskriminasi ataupun pembedaan perlakuan, karena pembatasan tersebut berlaku bagi semua orang atau semua warga negara.
“Menurut Mahkamah, pembatasan demikian dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Hamdan.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan fenomena masih eksisnya partai-partai politik yang memenangi perolehan suara di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam satu daerah dan atau beberapa daerah adalah fakta bahwa dukungan politik masyarakat lokal tak selalu sejajar (linier) dengan dukungan terhadap partai yang sama yang ada di level nasional (DPR). Namun, hak masyarakat lokal tersebut terabaikan dengan hadirnya Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (2) huruf c, Pasal 8 ayat (2) huruf b, c dan d UU Parpol. (Lulu Anjarsari/mh)