Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan perkara Pengujian Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang dimohonkan oleh Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah dengan agenda mendengar jawaban DPR dan Pihak Pemerintah, Rabu (12/6).
Anggota DPR dari Komisi III, Ruhut Sitompul hadir selaku wakil dari DPR dan memberikan jawaban atas permohonan Pemohon Pengujian Undang-Undang Rumah Sakit. Mengawali paparannya, Ruhut mengatakan kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan melalui berbagai upaya serta kesehatan dalam rangkaian pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh suatu sistem kesehatan nasional. Bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, maka Konstitusi menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang tercermin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Usaha riil untuk memajukan kesejahteraan umum dalam bidang kesehatan dan untuk memenuhi salah satu hak rakyat atas pelayanan kesehatan maka dibentuklah rumah sakit. “Bahwa pembentukan Undang-Undang Rumah Sakit adalah salah satu upaya negara dalam mewujudkan tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujar Ruhut.
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatannya, lanjut Ruhut, rumah sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks. Pasalnya, pelayanan rumah sakit bersentuhan secara langsung dengan jenis tenaga kesehatan dan perangkat keilmuan yang saling berinteraksi satu sama lain. “Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat, yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka memberikan pelayanan yang bermutu, mengakibatkan semakin kompleksnya pengelolaan rumah sakit,” tukas Ruhut.
Ketentuan yang menyatakan rumah sakit harus berbadan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan, menurut DPR seperti yang disampaikan Ruhut dimaksudkan untuk melindungi usaha rumah sakit agar terhindar dari risiko akibat kegiatan usaha lain yang dimiliki oleh badan hukum pemilik rumah sakit.
Ruhut juga menyampaikan pembentukan badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan bagi rumah sakit swasta dimaksudnya agar semua keuntungan yang dihasilkan oleh rumah sakit harus dikembalikan ke rumah sakit untuk membiayai kegiatan operasional, seperti membayar gaji pegawai, membeli obat, membeli alat kesehatan habis pakai, dan peralatan kesehatan lainnya. Keuntungan yang dihasilkan dari pelayanan kesehatan tersebut tidak digunakan untuk kegiatan operasional yayasan yang menjadi induknya, yang tidak ada hubungannya dengan pelayanan kesehatan.
Pengaturan mengenai bentuk badan hukum di bidang perumahsakitan, lanjut Ruhut, bertujuan agar tercipta suatu tatanan hukum yang dapat mengarahkan semua kegiatan penyelenggaraan rumah sakit, memberikan perlindungan kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia di rumah sakit, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, serta terdapatnya kepastian hukum dan perlindungan hukum baik bagi pemberi pelayanan maupun bagi masyarakat sebagai penerima pelayanan.
Sedangkan ketentuan yang menyatakan pendirian Rumah sakit harus berbadan hukum, walaupun sifatnya mencari keuntungan bertujuan agar usaha di dalam akta pendiriannya harus dinyatakan khusus untuk perumahsakitan. Artinya, tidak boleh satu badan perseroan dagang atau usaha yang sekaligus menjadi rumah sakit. Pasalnya, jika tidak diatur dalam bentuk badan hukum di bidang perumahsakitan dikhawatirkan pengembangan rumah sakit akan jauh dari tujuan pendiriannya, yaitu hanya berorientasi mencari keuntungan semata dan menjadi komersial. Akibatnya, hal tersebut justru dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan rendahnya mutu pelayanan rumah sakit.
Sementara itu Pemerintah yang diwakili Budi Sampurna mengatakan dunia kedokteran saat ini ditandai dengan profesionalisasi yang semakin besar. Artinya, rumah sakit harus dijalankan menurut manajemen yang andal, dan efektif, dan accountable. Rumah sakit saat ini harus berdaya guna dan berhasil guna dalam mencapai tujuan pelayanan rumah sakit. Untuk itu, rumah sakit harus dikelola secara profesional untuk optimalisasi penggunaan sumber dana dan sumber dayanya.
“Pengelolaan rumah sakit yang profesional dan berfokus pada kegiatan usaha perumahsakitan mengandung arti melakukan penerapan prinsip-prinsip pengelolaaan perusahaan yang baik atau good corporate governance dan prinsip-prinsip pengelolaan klinik yang baik atau good clinical governance sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 36 Undang-Undang Rumah sakit yang menyatakan bahwa setiap rumah sakit harus menyelenggarakan tata kelola rumah sakit dan tata kelola klinis yang baik. Oleh karena itu, ketentuan dalam Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Rumah Sakit tidak dapat dilepaskan dari kehendak untuk mewujudkan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik dan prinsip-prinsip pengelolaan klinik yang baik,” tukas Budi Sampurna.
Menurut hukum, lanjut Budi, untuk dapat melakukan perbuatan dan hubungan hukum perlu memiliki kedudukan hukum sebagai subjek hukum. Dalam hal ini rumah sakit yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan dapat memiliki kapasitas sebagai subjek hukum untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara otonom dan mandiri. Selain itu, ketentuan agar rumah sakit berbadan hukum bertujuan untuk melindungi usaha rumah sakit agar terhindar dari risiko akibat kegiatan usaha lain yang dimiliki oleh badan hukum pemilik rumah sakit. Aturan tersebut juga dimaksudkan agar rumah sakit tidak hanya bertujuan mencari keuntungan, namun juga memiliki fungsi sosial sesuai kewajiban rumah sakit. (Yusti Nurul Agustin/mh)