Mahkamah Konstitusi menyatakan pokok permohonan Pemohon mengenai Pasal 29 huruf d UU 2/2011 pada frasa “rekrutmen bakal calon Presiden dan Wakil Presiden” tidak beralasan menurut hukum. Putusan dengan nomor 17/PUU-XI/2013 ini dibacakan oleh Ketua MK M. Akil Mochtar dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi pada Rabu (12/6) di Ruang Sidang Pleno MK.
Mahkamah berpendapat, bahwa dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 menyatakan, “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang” telah menegaskan, bahwa pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Selain itu, menurut Mahkamah, terkait apakah perseorangan dapat mengajukan diri untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden selain usulan dari partai politik atau gabungan partai politik, Mahkamah menyatakan, dalam Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008, tanggal 17 Februari 2009, pada paragraf [3.15.3] angka 4, dan angka 7, paragraf [3.16] angka 2, huruf a dan huruf b, paragraf [3.17] dan paragraf [3.18].
Adapun isi paragraf [3.15.3] angka 4 yaitu, frasa “partai politik atau gabungan partai politik”, dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Hal itu secara tegas bermakna hanya partai politik atau gabungan partai politiklah yang dapat mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, frasa tersebut tidak memberi peluang adanya interpretasi lain, seperti menafsirkannya dengan kata-kata diusulkan oleh perseorangan (independen) pada saat pembicaraannya di MPR, telah muncul wacana adanya calon Presiden secara independen atau calon yang tidak diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, tetapi tidak disetujui oleh MPR.
Kemudian pada paragraf [3.15.3] angka 7, jika Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menjadi sumber rumusan pasal-pasal yang diuji dari UU 42/2008, hal tersebut dapat ditafsirkan lain dan lebih luas, sehingga menampung Calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan. Sehingga, hal itu terjadi perubahan makna dari yang dimaksudkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. “Jika membatalkan pasal a quo, Mahkamah telah melakukan perubahan UUD 1945, yang berarti bertentangan dengan kewenangan Mahkamah dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.”
Selain itu, dalam paragraf [3.16] konstruksi yang dibangun dalam konstitusi, Mahkamah berpendapat, bahwa pengusulan Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik mencerminkan bahwa sistem politik yang dibangun mengacu pada sistem komunal/kolegial, bukan berlandaskan pada sistem individual (perseorangan).
Sedangkan dalam Paragraf [3.17] pelaksanaan Pemilu maka setiap orang mempunyai hak dan dijamin untuk melaksanakan kedaulatannya tersebut untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, namun demikian untuk dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden terdapat syarat-syarat yang dimuat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Pada paragraf [3.18] terkait dengan calon perseorangan dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah dalam putusan Nomor 007/PUUII/2004 tanggal 23 Juli 2004, Putusan Nomor 054/PUU-II/2004 tanggal 6 Oktober 2004, dan Putusan Nomor 057/PUU-II/2004 tanggal 6 Oktober 2004, dalam pertimbangan hukumnya (pada pokoknya) telah mengemukakan, bahwa untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945.
Sedangkan dalam kesimpulan atau konklusi putusan Mahkamah yang dibacakan Akil, Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan ini, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan ini serta permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Pernah diputus
Meskipun Undang-Undang yang diuji dalam permohonan Nomor 56/PUU-VI/2008 tersebut berbeda dengan permohonan ini dan dasar pengujiannya terdapat perbedaan, namun menurut Mahkamah alasan-alasan permohonan Pemohon ini pada hakikatnya adalah sama dengan alasan-alasan permohonan Nomor 56/PUU-VI/2008 yaitu menguji konstitusionalitas ketentuan yang hanya mengatur pencalonan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik bukan dari perseorangan. Sehingga, pertimbangan-pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008, tanggal 17 Februari 2009, mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula dalam putusan ini. (Utami Argawati/mh)