Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Yayasan Kampus Diakonia Modern, dan Yayasan Elsafan, dan beberapa lembaga independen lainnya yang kesemuanya berjumlah 12, Rabu (5/6). Pada sidang pendahuluan, Kuasa Hukum Pemohon Apong Herlina menyampaikan pokok-pokok permohonan kliennya.
Di hadapan Panel Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Apong Herlina menyampaikan kliennya mengajukan pengujian penjelasan umum, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 27 ayat (1), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (6), Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 90 ayat (1) huruf a, serta Pasal 90 ayat (2). Sementara yang menjadi batu uji pengujian pasal a quo adalah Pasal 1 ayat (3), kemudian Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (4) juncto Pasal 26 ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4).
Apong mengatakan kedua belas Pemohon merupakan kelompok yang terkait langsung dan dirugikan dengan penjelasan yang menyatakan pencatatan sipil pada dasarnya juga menganut stelsel aktif bagi penduduk. Akibat dari asas atau dasar stelsel aktif bagi penduduk, lanjut Apong, penduduk menjadi diwajibkan melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.
“Artinya bahwa negara tidak diberikan mandat atau kewajiban untuk melakukan secara aktif pencatatan sipil bagi penduduk atau warga negaranya. Selain itu juga dampak dari asas stelsel aktif bagi penduduk ini terlihat dari Pasal 4 Undang-Undang Adminduk yang menyatakan warga negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana pencatatan sipil setempat atau kepada pemerintah perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Jadi, sangat in-line sekali di situ. Masyarakat atau warga negara yang harus aktif, walaupun warga negara tersebut berada di wilayah di luar Negara Kesatuan Republik Indonesia,” jelas Apong menyampaikan gugatan kliennya.
Terhadap permohonan Para Pemohon tersebut, Maria mengatakan bahwa Pasal 32, Pasal 32 ayat (1), ayat (2), Pasal 90 UU Administrasi Kependudukan tidak bisa diajukan lagi karena sudah pernah diputuskan MK beberapa waktu lalu. Selain itu, Maria mencermati banyak hal yang ditulis berulang kali dalam permohonan Para Pemohon sehingga Maria meminta sistematika permohonan diperbaiki. Selain itu Maria meminta Apong menguraikan alasan-alasan permohonan lebih jelas lagi per pasalnya.
“Anda tidak menguraikan di sini kalau terjadi demikian siapa yang melapor. Ya, kan? Negara ini kan terlalu luas, jadi kalau ada yang lahir di pucuk gunung gitu tidak ada yang lapor kan negara juga enggak tahu. Nah, itu yang perlu dijelaskan, dirumuskan ulang sehingga meyakinkan hakim bahwa memang ini suatu masalah, permasalahan itu. Kalau MK sudah memutuskan kemarin bahwa pencatatan itu memang diperlukan, tetapi kalau yang terlambat itu diberikan tidak langsung ke pengadilan kalau sudah lewat 60 hari,” jelas Maria memberikan saran. (Yusti Nurul Agustin/mh)