Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan perkara pengujian terkait pembatasan permohonan Peninjauan Kembali (PK) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar dan beberapa Pemohon lainnya, Selasa (4/6) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Hadir pada kesempatan tersebut dua orang ahli dari Pemohon, yakni Romli Atmasasmita dan Agung Harsoyo.
Dalam keterangan ahlinya, Romli Atmasasmita menegaskan bahwa pada intinya PK tidak bertujuan untuk menemukan kepastian hukum, melainkan sebagai sarana untuk memperoleh keadilan. “Saya tegaskan bahwa permohonan PK bukan kewajiban, melainkan hak terpidana sepanjang hayatnya selama menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan. Sekalipun terpidana berada pada masa akhir menjalani pidana,” tegasnya.
Menurutnya, kepastian hukum tidak identik dengan keadilan. Di mana keadilan tidak hanya diperoleh melalui putusan pengadilan, melainkan juga dapat ditemukan dari para pihak yang beresengketa di pengadilan atau dari korban dan pelaku tindak pidana.
“Sejatinya, ada tidaknya keadilan dalam peristiwa hukum konkrit berdasarkan hukum yang berlaku, bukan monopoli negara dan alat kelengkapannya, akan tetapi adalah hak korban dan pelaku untuk menentukannya,” ungkap Romli.
Romli berpandangan, sifat luar biasa PK tersirat pada tiga alasan pengajuan PK sebagaimana tercantum dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP yang juga diuji oleh Pemohon. Pada intinya, pengajuan PK memuat tiga alasan faktual, yaitu jika ditemukan fakta adanya novum (bukti baru), terdapat putusan yang saling bertentangan, atau ada kekeliruan nyata dari majelis hakim.
“Ketiga alasan faktual tersebut, bukan alasan untuk mencapai tujuan kepastian hukum, melainkan untuk mencapai tujuan keadilan. Karena tujuan kepastian hukum telah dipenuhi, selesai ketika jatuhnya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” ujar Romli.
Oleh karenanya dia menilai, pembentuk undang-undang yang menempatkan PK sebagai upaya hukum terakhir adalah sudah tepat dan relevan dengan tujuan menghadirkan keadilan. Namun menjadi tidak tepat, ketika dimaknai untuk mencapai kepastian hukum.
Ia kemudian berkesimpulan, Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang merumuskan bahwa pengajuan PK hanya satu kali saja, bertentangan dengan Pasal 28A, 28D ayat (1) dan Pasal 28I UUD 1945. “Kedudukan ketentuan Pasal 268 ayat (3) Hukum Acara Pidana dari sudut pandang teori hukum integratif jelas bertentangan dengan nilai-nilai moral Pancasila,” tegasnya.
Adapun Agung Harsoyo, memberikan paparan tentang model atau mekanisme kerja short message service (sms). Berdasarkan keahliannya, dia menyimpulkan bahwa pengiriman sms, selain dapat dilakukan dari satu nomor ke nomor yang lain dengan sepengetahuan pemilik nomor, juga dapat dilakukan dengan tanpa sepengatahuan pemilik nomor ponsel tertentu. Keahlian ini dipaparkan pada konteks pembuktian di pengadilan umum dalam kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen dengan terpidana Antasari Azhar. (Dodi/mh)