Sidang lanjutan terhadap pengujian Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi pada Kamis (30/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan nomor 33/PUU-X/2012, dimohonkan oleh Para Pemohon yang terdiri dari Moh. Junaidi (Pemohon I), Ahmad Rizky Mardhatillah Umar (Pemohon II), Aida Milasari (Pemohon III), dan Yogo Danianto (Pemohon IV).
Dalam sidang tersebut, Para Pemohon menghadirkan dua ahli, yakni H.A.R. Tilaar sebagai ahli pendidikan serta Dian Puji Simatupangsebagai ahli hukum. Dalam keterangannya, Tilaar memaparkan pengelolaan pendidikan tinggi dalam UU Dikti berakibat pada tersingkirnya mahasiswa dari keluarga miskin, sehingga UU ini bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, Tilaar juga mengungkap fakta bahwa Indonesia masih merupakan negara berkembang dengan tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi sehingga perlu ada kesempatan yang seluas-luasnya pada semua warga negara untuk mengembangkan bakatnya. Apalagi, pendidikan tinggi merupakan investasi karena mempunyai “rate of returns” yang cukup besar sebagai modal kultural, dan modal sosial ekonomi.
Sementara itu, Dian Puji Simatupang menyatakan munculnya Perguruan Tinggi Badan Hukum seperti yang diatur dalam UU Dikti, menciptakan paradoks rasionalitas yang secara nalar hukum menimbulkan contradictio in terminis. Hal ini diakibatkan oleh pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau oleh masyarakat. Padahal, lanjut Dian, sebuah badan hukum mempunyai kepentingan sendiri karena mempunyai kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan negara.
Dalam sidang tersebut, hadir perwakilan perguruan tinggi berbadan hukum, seperti UI, UGM, dan IPB, sebagai Pihak Terkait. Perwakilan UGM membantah permohonan yang disampaikan oleh Pemohon. UGM menilai tidak benar adanya dalil Pemohon yang menyatakan bahwa UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT) tidak identik dengan UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Sementara itu IPB menilai UU Dikti bukan liberalisasi pendidikan tinggi serta tidak bertentangan dengan konstitusi.
Pada sidang sebelumnya, kuasa hukum Pemohon, Pratiwi Febri mengungkapkan, norma hukum yang dikandung dalam UU PT telah mengatur hingga sampai pada hal-hal teknis, terutama terkait pengelolaan keuangan, yang pada akhirnya menghilangkan tujuan utama atau hakikat (raison de’etre) pendidikan tinggi serta melahirkan ketidakadilan bagi sejumlah anak bangsa. Faktanya, sejak beberapa perguruan tinggi negeri menjadi berbadan hukum berdasarkan UU PT, seperti Universitas Indonesia (kampus Pemohon I) dan Universitas Gadjah Mada (kampus Pemohon II), telah melahirkan sejumlah kebijakan kampus yang ujung-ujungnya menambah beban pembiayaan pendidikan kepada mahasiswa.
Oleh karena itu, dalam tuntutan atau petitum permohonannya, Para Pemohon meminta MK untuk mengabulkan seluruh permohonannya. “Menyatakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan khususnya alinea pembukaan UUD 1945, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1) dan (5) Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Pratiwi. (Lulu Anjarsari/mh)