Antasari Azhar kembali menghadirkan ahli dalam dalam sidang lanjutan perkara pengujian Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Rabu (29/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Hadir pada kesempatan tersebut Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin dan Pakar Hukum Pidana Chodri Sitompul. Selain Antasari, terdapat dua Pemohon lainnya dalam perkara ini, yakni Andi Syamsuddin Iskandar dan I Made Sudana yang teregistrasi dengan nomor perkara yang berbeda.
Dalam paparannya, Irman mengutarakan bahwa pengajuan peninjauan kembali (PK) lebih dari satu kali tidak bertentangan dengan Konstitusi. Malah sebaliknya, menurutnya PK lebih dari satu kali, sejalan dengan prinsip yang dianut oleh Konstitusi. Karena pada dasarnya, setiap produk kekuasaan bisa ditinjau atau diuji kembali, tanpa pembatasan. “Pada prinsipnya kekuasaan kehakiman tidak boleh mengunci pintu rapat-rapat untuk diajak merenungkan kembali putusannya,” tegasnya.
Di samping itu, Irman juga membandingkan proses pengajuan PK dengan pengujian undang-undang di MK. Menurutnya, Pasal 60 Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, membuka ruang pengecualian dalam pengujian materi sebuah undang-undang meskipun materi tersebut pernah diuji sebelumnya. Di mana, pengecualian atau pengujian sebuah materi undang-undang yang pernah diuji, tidak ada pembatasan untuk diajukan kembali, selama alasan atau batu uji yang mendasarinya berbeda.
Oleh karena itu, ia berpendapat, pembatasan pengajuan PK yang hanya satu kali saja merupakan wujud kemalasan dan kelelahan negara dalam menangani persoalan warga negaranya. Pembatasan ini, kata dia, tidak cukup kuat jika dilandasi dengan alasan bahwa demi kepastian hukum, demi untuk tidak berlarut-larutnya perkara, atau demi kehati-hatian untuk mengambil putusan.
“Masalah ini sesungguhnya tidaklah berhubungan dnegan prinsip kepastian hukum, namun lebih kepada prinsip distorsif dari stelsel pasif, yaitu negara menjadi malas, tidak mau sibuk mengurus sesuatu, karena urusannya atau tumpukan perkara yang banyak. Negara lelah atau otoritarian untuk diajak merenung untuk mengoreksi produk kekuasaan atau hanya merenung untuk keadaan baru dari sebuah keputusan yang dibuatnya,” bebernya.
Negara, kata Irman, dalam hal ini seolah-olah bertopeng bahwa negara pasti benar dan akan selalu benar, karena inilah kepastian hukum. “Prinsip bahwa (proses) hukum harus ada akhirnya, tidak boleh membuat negara tidur,” pungkasnya.
Alih-alih menjamin kepastian hukum, menurut Irman, pembatasan ini malah menghadirkan anomali. “Karena semua produk kekuasaan lainnya dapat dimintakan pengujian atau peninjauan kembali lebih dari sekali.”
Sementara itu, ahli lainnya Chodri Sitompul, memberikan pandangan singkat terkait persoalan ini. Pada intinya, ungkap Chodri, hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil atau objective truth dan untuk melindungi hak tersangka atau terdakwa maupun pihak korban.
Menurutnya, PK dapat diajukan lebih dari sekali jika didasari pada alasan ditemukannya novum (bukti baru) yang belum ditemukan atau dihadirkan saat PK yang pertama. “Apabila memang keadaan novum-nya itu baru ditemukan di kemudian hari setelah ada putusan PK. Di mana putusan PK pertama diajukan karena bukan novum, misalnya karena ada kekeliruan yang nyata, maka sungguh tidak adil kalau misalnya novum atau (bukti) yang baru itu, tidak bisa digunakan sebagai dokumen hukum,” tuturnya. (Dodi/mh)