Direktur Wahid Institute Yenny Wahid beserta rombongan berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (29/5) siang. Kunjungan mereka diterima langsung oleh Ketua MK M. Akil Mochtar yang didampingi Sekjen MK Janedjri M. Gaffar di lantai 15 Gedung MK.
“Kunjungan kami ke MK sebagai sowan, sekaligus menindaklanjuti pertemuan-pertemuan terdahulu dengan Pak Mahfud mengenai beberapa program. Gagasan yang sudah dijalankan adalah seminar mengenai toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia,” kata Yenny pada kesempatan itu.
Program berikutnya, lanjut Yenny, rencana menerbitkan buku saku tentang agama-agama resmi di Indonesia, terkait putusan MK terhadap UU No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
“Kita akan mengangkat masalah itu dan kita berinisiatif untuk menerbitkan. Tentu kalau hanya mendasarkan pada rujukan sendiri, buku ini menjadi kurang lengkap referensinya,” kata Yenny.
Oleh karena itu, Yenny meminta masukan kepada Ketua MK agar buku itu nantinya memiliki nuansa yang lebih serius sehingga akan menjadi bahan kajian bagi banyak pihak. Menurut Yenny, buku saku itu penting diterbitkan. Karena memang banyak masyarakat, termasuk para pejabat perlu mengetahui putusan MK beberapa waktu lalu terkait kebebasan beragama di Indonesia.
“Masih banyak kerancuan dan diskriminasi terhadap para pemeluk agama karena masih mendasarkan pada undang-undang yang lama,” jelas Yenny.
Mengenai rencana penerbitan buku saku tersebut, ungkap Akil Mochtar, pada dasarnya MK menyambut baik gagasan itu dan nantinya akan dibicarakan kerja sama menerbitkan buku saku itu.
“Masalah pembuatan buku saku itu kami serahkan kepada Sekjen MK, bisa dibicarakan lebih teknis apa-apa yang bisa dirancang dan digarap secara bersama. Termasuk mengenai putusan MK terkait UU Penodaan Agama, soal sosialisasinya dan sebagainya,” imbuh Akil.
“Mengenai Follow up-nya, forum-forum apa yang bisa kita manfaatkan, misalnya apakah peluncuran bukunya, sosialisasinya, distribusinya dan sebagainya akan dibicarakan nantinya,” tambah Akil.
Dikatakan Akil lagi, hak untuk berkeyakinan pada suatu agama merupakan suatu hal yang tidak bisa dikurangi. Konsepsi-konsepsi dasar seperti itu tidak saja memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Tetapi juga menyampaikan dalam konteks yang lebih luas melalui politik.
“Kalau MK secara kelembagaan tidak bisa berbicara lain kecuali dalam konteks putusan. Putusan MK untuk semuanya, termasuk lembaga negara juga diberikan,” ujar Akil kepada para tamu yang hadir.
Akil melanjutkan, Ketua MK maupun para hakim konstitusi sebenarnya sudah ikut bersosialisasi mengenai putusan MK. Namun, kata Akil, melalui kerja sama rmenerbitkan buku saku mengenai agama-agama resmi di Indonesia, akan jauh lebih leluasa. Mengingat, salah satu problem masyarakat Indonesia saat ini, bagaimana melindungi kelompok masyarakat yang berbeda keyakinan. “Terutama kelompok masyarakat yang secara personal maupun keyakinannya minoritas,” tandas Akil. (Nano Tresna Arfana/mh)