Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun2004 tentang Jabatan Notaris yang dimohonkan oleh Kant Kamal, Selasa (28/5).
Setelah membaca permohonan Pemohon, mendengar keterangan Pemohon, mendengar dan membaca keterangan Pemerintah, membaca keterangan DPR, memeriksa bukti-bukti Pemohon, dan membaca kesimpulan Pemohon, Mahkamah menyatakan pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.
Mahkamah dalam amar putusan yang dibacakan langsung oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Akil Mochtar menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945. Karena frasa tersebut dinyatakan bertentangan, pada poin selanjutnya Mahkamah menyatakan frasa yang sama juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan frasa ‘dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah’ dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945. Menyatakan frasa ‘dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah’ dalamPasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” ujar Akil membacakan amar putusan Mahkamah yang dihasilkan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) selagi Mahfud MD menjabat sebagai Ketua MK.
Berikut bunyi Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris secara lengkap.
Pasal 66
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
Frasa yang dibatalkan oleh Mahkamah itu sebelumnya dianggap oleh Pemohon bertentangan dengan prinsip “persamaan kedudukan di dalam hukum” bagi setiap warga negara Indonesia, tidak terkecuali notaris, sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah pun dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Hamdan Zoelva menyatakan proses peradilan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk mengambil dokumen-dokumen dalam penyimpanan notaris dan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan dokumen-dokumen yang dibuatnya yang hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah merupakan kelompok pengaturan yang seharusnya tidak mengandung perlakuan berbeda yang bertentangan dengan prinsip equal protection sebagaimana yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yaitu persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum dan pemerintahan.
Masih dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat perlakuan yang berbeda terhadap jabatan notaris sudah diatur dan diberikan perlindungan dalam Kode Etik Notaris. Sedangkan, lanjut Hamdan, notaris selaku warga negara dalam proses penegakan hukum pada semua tahapan harus diberlakukan sama di hadapan hukum sebagaimana dimaksud dan dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
“Oleh karena itu, keharusan persetujuan Majelis Pengawas Daerah bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan dan bertentangan dengan kewajiban seorang notaris sebagai warga negara yang memiliki kedudukan sama di hadapan hukum. Dengan cara demikian akan terhindarkan pula adanya proses peradilan yang berlarut-larut yang mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya penegakan keadilan yang pada akhirnya justru dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri. Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tertolak, justice delayed justice denied,” tukas Hamdan. (Yusti Nurul Agustin/mh)