Permohonan sengketa kewenangan antara advokat dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian putusan dengan Nomor 1/SKLN-XI/2013 dibacakan oleh Ketua MK M. Akil Mochtar didampingi oleh tujuh hakim konstitusi pada Selasa (28/5).
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Akil di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Mahkamah menjelaskan dalam sengketa kewenangan lembaga Negara (SKLN), Para pihak yang bersengketa (subjectum litis), yaitu Pemohon dan Termohon, kedua-duanya harus merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kemudian, lanjut Maria, kewenangan yang dipersengketakan (objectum litis) harus merupakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Selain itu, Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 yang dipersengketakan
“Badan-badan yang dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 tersebut adalah badan-badan lain yang menyelenggarakan fungsi kekuasaan kehakiman selain pengadilan yang diatur dalam undang-undang, dalam hal ini termasuk antara lain Kepolisian, Kejaksaan, dan Advokat. Walaupun demikian tidak berarti bahwa badan-badan lain tersebut serta merta merupakan lembaga negara yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,” papar Maria.
Maria melanjutkan lembaga negara baik Pemohon maupun Termohon yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi harus memenuhi syarat tertentu. Menurut Mahkamah, baik advokat sebagai Pemohon dalam perkara a quo maupun Kementerian Hukum dan HAM in casu Badan Pembinaan Hukum Nasional sebagai Termohon, bukanlah lembaga negara yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi.
“Pemohon bukanlah lembaga negara yang dibentuk atau disebut dalam UUD 1945 karena itu tidak pula memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Demikian pula Termohon bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Dengan demikian berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 61 ayat (1) UU MK, Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan a quo,” terangnya.
Permohonan ini dimohonkan oleh Dominggus Maurits Luitnan dan L.A Lada yang mewakili rekan-rekannya selaku advokat, yaitu Suhardi Somomoelyono, Abdurrahman Tardjo, Mansjur Abu Bakar, dan Metiawati. Permohonan ini bermula dari adanya kebijakan Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dengan membuka pendaftaran dan melakukan verifikasi terhadap calon pemberi bantuan hukum. Langkah BPHN yang melakukan pendaftaran serta verifikasi bagi calon pemberi bantuan hukum dinilai telah melampaui kewenangannya oleh Para Pemohon. (Lulu Anjarsari/mh)