Para Tenaga Kerja Indonesia yang merasa hak konstitusionalnya terlanggar mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU Perlindungan TKI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pendahuluan perkara yang teregistrasi dengan Nomor 50/PUU-XI/2013 ini digelar pada Selasa (28/5) di Gedung MK. Tiga orang buruh migran tercatat sebagai pemohon, yakni Arni Aryani Suherlan Odo, Siti Masitoh BT Obih Ading, serta Ai Lasmini BT Enu Wiharja.
Dalam pokok permohonannya, Para Pemohon yang diwakili oleh Jansen E. Saloho mendalilkan hak konstitusinya terlanggar dengan berlakunya Pasal 10 huruf b, Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60 UU Perlindungan TKI. Menurut Jansen, Pasal 10 huruf b UU tersebut telah memberikan tanggung jawab penempatan TKI kepada pihak swasta, hal ini bertentangan dengan kewajiban konstitusional negara dalam melindungi warga negara Indonesia dalam hal ini TKI di luar negeri. “Hal ini merupakan bentuk pengabaian perlindungan negara terhadap TKI. Fakta ditemukan penempatan swasta banyak yang tidak bertanggung jawab, sementara Pemerintah berkilah hal tersebut tugas swasta,” urainya.
Kemudian, Jansen melanjutkan Pasal 58 ayat (2) UU tersebut yang menyatakan Pengurusan untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggungjawab pelaksana penempatan TKI swasta, dengan tegas membatasi pihak yang berhak untuk mengurus perpanjangan kontraknya secara mandiri.
“Pasal ini sangatlah merugikan Para Pemohon, dikarenakan tidak ada jaminan Para Pemohon kembali bekerja pada majikan yang sama bahkan berpotensi kehilangan kesempatan bekerja dikarenakan fakta selama ini, penempatan TKI swasta sering mempersulit TKI untuk mengurus perpanjangan kerja, bahkan banyak ditemukan fakta perusahaan penempatan TKI swasta tidak diketahui lagi keberadaannya,” jelasnya.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki untuk menyatakan Pasal 10 huruf b, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60 UU Perlindungan TKI bertentangan dengan UUD 1945. “Selain itu meminta UU Perlindungan TKI tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya,” urainya.
Pada sidang tersebut, Majelis Hakim Konstitusi memberikan beberapa nasihat perbaikan bagi para pemohon. Sodiki meminta agar Para Pemohon memperbaiki rumusan alasan permohonan. “Apakah nantinya penempatan ini akan diserahkan ke Pemerintah atau swasta? Ini yang harus diperjelas pemohon dalam petitum. Pandangan Saudara harus lebih komprehensif di sini, jangan sampai malah merugikan TKI sendiri,” jelas Sodiki.
Sementara Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyarankan agar Para Pemohon memperbaiki argumentasi permohonan berkaitan jika permohonan Pemohon dikabulkan. Menurut Maria, jika permohonan Pemohon dikabulkan, nantinya seluruh penempatan akan dilakukan oleh Pemerintah. “Bukankah saat ini penempatan TKI banyak dilakukan oleh pihak swasta? Dan jika dilihat TKI lebih senang terhadap lembaga-lembaga tersebut. Harus dipikirkan kembali. Kemudian, Anda menjelaskan adanya ketidakpastian antar norma dalam UU a quo, sebenarnya Anda ingin menguji antar pasal dalam UU a quo atau UU a quo terhadap UUD 1945?” ujarnya.
Pemohon diberi waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Sidang berikutnya beragendakan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/mh)