Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Akil Mochtar memberikan pengarahan di hadapan para anggota komisi pemilihan umum (KPU) provinsi dari seluruh Indonesia. Akil didaulat menjelaskan pentingnya berbagai hal terkait dengan penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang berhubungan dengan pola pelanggaran yang terungkap di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) baik oleh peserta maupun penyelenggara pemilu.
“Bagi saya, hal ini perlu untuk diketahui oleh seluruh penyelenggara Pemilu, terutama KPU Provinsi dan terlebih lagi anggota KPU yang baru,” kata Akil mengawali acara “Orientasi Tugas Anggota KPU Provinsi Gelombang I Tahun 2013” pada Sabtu (25/5) malam di Jakarta.
Dikatakan Akil lagi, sebelum membicarakan penanganan perkara PHPU, harus diketahui dulu kategorisasi rezim pemilu. Mulai dari Pemilu Legislatif (DPR, DPD, DPRD), Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, hingga Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada).
“Pada kesempatan ini, saya ingin fokus membahas masalah Pemilukada. Dengan disahkannya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, dinyatakan bahwa Pemilukada dikategorikan sebagai Pemilu. Juga dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 2007 tidak disebutkan secara eksplisit perihal Pemilukada,” ucap Akil kepada para hadirin.
Mengenai penangananan Pemilukada, kata Akil, semula dilakukan oleh Mahkamah Agung. Namun sejak November 2008, penanganan Pemilukada dialihkan ke Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan MK adalah memutus perselisihan hasil Pemilu. Maka karena pemilihan gubernur, bupati dan walikota merupakan Pemilu, kewenangan memutus PHPU berada di tangan MK.
“Sejak pertama kali memutus perkara perselisihan Pemilukada sampai 23 Mei 2013, secara keseluruhan MK telah menerima sebanyak 551 perkara perselisihan Pemilukada. Dari jumlah tersebut, sebanyak 542 perkara telah diputus dengan rincian 45 perkara dikabulkan, 357 perkara ditolak, 122 perkara tidak diterima, 17 perkara ditarik kembali dan 1 perkara gugur,” urai Akil.
“Dari statistik tersebut hanya sedikit perkara yang dikabulkan MK. Ini menunjukkan bahwa dalam memutuskan perkara perselisihan Pemilukada, MK selalu cermat dan berhati-hati. Karena itu tidak betul kalau dikatakan MK sembrono, kurang saksama dan tidak konsisten dalam memutus perkara. Perlu ditegaskan, MK tidak mengambil keuntungan dari putusan yang dijatuhkan, namun hanya memberikan kepastian hukum yang berkeadilan,” imbuh Akil.
Akil juga memaparkan tiga kategori pelanggaran yang terjadi dalam Pemilukada. Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara Pemilukada. Kedua, pelanggaran dalam proses Pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada. Misalnya, politik uang, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana Pemilu dan sebagainya.
“Jenis pelanggaran Pemilukada yang ketiga adalah pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur. Misalnya, syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara dan syarat keabsahan dukungan bagi calon independen. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil Pemilukada karena ada pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak awal,” ucap Akil.
Sedangkan berdasarkan pelaku, sambung Akil, pelanggaran Pemilukada bisa dilakukan oleh Penyelenggara Pemilukada yang meliputi kelalaian Penyelenggara Pemilukada, manipulasi suara, keberpihakan Penyelenggara Pemilukada kepada salah satu pasangan calon. Selain itu, pelanggaraan Pemilukada bisa dilakukan oleh peserta Pemilukada, misalnya mengenai manipulasi syarat administrasi pendaftaran calon, membeli suara maupun politisasi birokrasi.
Lebih jauh, Akil menerangkan beragam varian amar putusan dalam perkara perselisihan Pemilukada. Sekurang-kurangnya ada 4 jenis putusan yaitu memerintahkan KPUD untuk melakukan pemungutan suara ulang, melakukan penghitungan suara ulang, melakukan verifikasi administrasi dan faktual terhadap seluruh pasangan calon, hingga mendiskualifikasi salah satu pasangan calon peserta Pemilukada.
“Jenis-jenis putusan tersebut dapat saja dikombinasikan. Contohnya di Jawa Timur, MK tidak hanya memerintahkan pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang. Tetapi juga memerintahkan penghitungan suara ulang di Pamekasan,” tandas Akil. (Nano Tresna Arfana/mh)