Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, UUD diibaratkan pangkal cambuk. Sedangkan hukum-hukum di bawahnya adalah pucuk-pucuk dari cambuk itu.
“Kalau cambuk itu kita gerakkan sedikit, kita bisa mengibaratkan bagaimana gerakan di ujung-ujung cambuk. Sekarang ini kita punya UUD yang sudah diubah dalam empat tahap, kemudian kita gerakkan lagi, namun belum menyesuaikan seluruh produk perundangan,” urai Arief saat menerima kunjungan para peserta Badiklat Kejaksaan RI ke Mahkamah Konstitusi, Jumat (24/5) pagi.
Dikatakan Arief lagi, apa yang terjadi kalau hukum selalu berubah atau tidak ada kepastian hukum? Menurut Arief, kalau tidak ada kepastian hukum akan terjadi chaos dan rakyat sendiri yang bertugas untuk menjalankan dan menegakkan hukum.
“Inilah yang harus kita pikirkan bersama-sama, apakah kita mau mengamandemen atau tidak lagi mengamandemen UUD? Saya berpendapat, mengubah UUD itu harus sangat hati-hati, memerlukan kajian yang cukup mendalam. UU saja harus mempunyai keberlakuan sangat panjang, apalagi UUD,” papar Arief.
Pada kesempatan itu Arief juga memaparkan Teori Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum. “Hukum itu adalah seperangkat aturan yang tersusun secara sistematis dan logis. Kalau UUD mengatur A, maka peraturan pelaksanaannya mengatur A1, A2. A3 dan tidak boleh melenceng sampai jauh dari A sampai Z,” ucap Arief.
“Kalau norma dasar mengatur sesuatu yang berbunyi A, berarti sampai penjabarannya tetap dalam koridor A itu. Itulah yang dinamakan sinkronisasi dan harmonisasi hukum,” tambah Arief.
Arief melanjutkan, kalau peraturan yang di bawah harus bernilai menjabarkan peraturan yang di atasnya, peraturan yang di bawah harus konsisten, koheren, dan berkorespondensi dengan aturan yang di atasnya.
“Misalnya begini, Pasal 28 UUD 1945 yang mengatur masalah kebebasan berserikat dijamin oleh konstitusi. Pada waktu kita membuat aturan kebebasan berserikat, misalnya mendirikan parpol, mau mengatur masalah ormas, mengatur masalah media massa, kita harus memberikan kebebasan itu sebagaimana diinginkan konstitusi,” imbuh Arief.
Terkait masalah kebebasan berserikat, sambung Arief, sekarang sudah ada UU yang mengatur kebebasan mendirikan parpol. Memang untuk mendirikan parpol itu mudah, cukup didukung oleh 50 orang dan disahkan di Kemenkumham. Itu sudah sah.
“Tetapi kalau parpol itu harus ikut pemilu, maka kemudian secara teknis diatur kepesertaannya dalam pemilu,” kata Arief.
Masalah kebebasan berpendapat, ujar Arief, juga termasuk kebebasan pers. “Sekarang tidak ada yang namanya pembreidelan, menutup SIUPP dan sebagainya. Karena hal ini menyangkut masalah kebebasan yang diberikan oleh konstitusi di bidang pers,” ucap Arief.
Lantas di mana letak tanggung jawab pers? “Berarti harus memberikan kesempatan seluas-luasnya hak jawab kepada yang diberitakan. Kalau media sampai mencemarkan nama baik seseorang, digugat berdasarkan pasal pencemaran nama baik. Kemudian sekarang muncul paradigma baru, pers itu harus menyempitkan sendiri melalui peraturan yang disebut kode etik jurnalistik,” tandas Arief. (Nano Tresna Arfana/mh)