Ketentuan affirmative action dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) hanya mengaburkan dan mendestruksikan pasal yang berada di dalam batang tubuh. Hal ini disampaikan oleh Irmanputra Sidin selaku Ahli Pemohon No. 20/PUU-XI/2013 pada Sidang yang digelar MK, Kamis (23/5).
“Penjelasan tersebut mengaburkan bahkan mendestruksikan ketentuan yang ada dalam pasal di batang tubuh. Padahal penjelasan itu untuk menjelaskan norma dan tidak bisa dijadikan dasar hukum,” urai Irman di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK M. Akil Mochtar.
Menurut Irman, Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU Pemilu Legislatif menimbulkan ketentuan hukum baru dari norma hukumnya. Dalam penjelasan tersebut, justru mempersempit dari tiga calon menjadi satu calon. Hal ini yang menyebabkan ketentuan tersebut memberikan ketidakpastian hukum. “Aturan Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU Pileg mengaburkan ketentuan pada batang tubuh dan tidak memberikan kepastian hukum yang sesungguhnya sudah diberikan dalam batang tubuh,” paparnya.
Sebagaimana diketahui, Pasal 56 ayat (2) UU Pemilu Legislatif menentukan bahwa didalam daftar bakal calon yang disusun berdasarkan nomor urut, setiap orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan bakal calon. Sementara itu penjelasan pasal tersebut menyatakan, “Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya”.
Sementara itu, terkait Pasal 215 huruf b UU Pileg, Irman menjelaskan frasa “persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan” konstitusional sepanjang dimaknai keterwakilan perempuan didahulukan dibandingkan dengan jenis kelamin yang berbeda, kecuali dengan jenis kelamin yang sama.
Pasal 215 b UU Pemilu Legislatif menyatakan:
“Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan ketentuan sebagai berikut:
a...
b. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara yang sama, penentuan calon terpilih ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan.”
“Frasa ‘persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan’ adalah sebagai konsekuensi politik secara konstitusional jika dimaknai perempuan didahulukan dibanding jenis kelamin yang berbeda, kecuali jika berjenis kelamin yang sama. Hal ini akan memberikan jaminan hukum,” terangnya.
Dalam pokok permohonannya, 31 Pemohon yang terdiri dari atas sembilan organisasi perempuan dan 22 perorangan mengujikan ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf e, Pasal 55, Penjelasan Pasal 56 ayat (2), dan Pasal 215 UU Pemilu Legislatif. Ema mengungkapkan, ketentuan itu setidaknya bertentangan dengan pasal 27 ayat (1); Pasal 28D ayat (1) dan (3); Pasal 28H ayat (2); serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Sebab, selain terdapat ketidakjelasan rumusan, juga telah melahirkan perlakuan diskriminatif terhadap hak-hak perempuan, khususnya hak konstitusional Para Pemohon. (Lulu Anjarsari/mh)