Frasa ‘…pihak ketiga yang berkepentingan…’ yang terdapat dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”. Demikian amar putusan MK bernomor 98/PUU-X/2012 yang dibacakan oleh Ketua MK M. Akil Mochtar dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya pada Selasa (21/5).
Dengan putusan ini, saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan adalah termasuk dalam pengertian "pihak ketiga yang berkepentingan" sebagaimana diatur dalam Pasal 80 KUHAP yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan tentang sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
“Mengabulkan permohonan Pemohon; frasa ‘pihak ketiga yang berkepentingan’ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan’,’ ucap Akil di Ruang Sidang Pleno MK.
Selan itu, amar putusan MK juga menyatakan “Frasa ‘pihak ketiga yang berkepentingan’ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan’”. Putusan ini berkaitan dengan putusan Nomor 76/PUU-X/2012 yang diucapkan pada 8 Januari 2013 lalu.
Dijelaskan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, bahwa dalam putusan MK Nomor 76/PUU-X/2012 walaupun KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, namun menurut Mahkamah, yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor, tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas. Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal tersebut tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat atau Organisasi Masyarakat lainnya karena pada hakikatnya KUHAP adalah instrumen hukum untuk menegakkan hukum pidana. “Peran serta masyarakat baik perorangan warga negara ataupun perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) sangat diperlukan dalam pengawasan penegakan hukum,” terang Hamdan.
Selain itu, Hamdan menjelaskan norma yang dimohonkan oleh Pemohon dalam perkara tersebut adalah sama dengan norma yang dimohonkan dalam permohonan Nomor 76/PUU-X/2012, namun maksud permohonan dalam perkara Nomor 76/PUU-X/2012 adalah untuk mempersempit penafsiran frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 UU 8/1981 sehingga permohonannya ditolak. Sedangkan maksud permohonan Pemohon ini, lanjut Hamdan, adalah sebaliknya, yaitu untuk memperluas penafsiran frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 UU 8/1981. Oleh karena maksud permohonan dalam permohonan ini sudah sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam perkara Nomor 76/PUU-X/2012 tersebut di atas, maka pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-X/2012 tersebut mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula dalam permohonan ini. “Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Mahkamah menilai dalil-dalil Pemohon beralasan menurut hukum,” terangnya.
Pemohon selama ini aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi serta penegakan hukum secara umum yang tergabung dalam Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang telah dan akan dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 80 KUHAP dalam pengertian penafsiran sempit pihak ketiga berkepentingan dibatasi saksi korban dan atau saksi korban sudah diwakili oleh aparat negara yaitu Kepolisian dan Kejaksaan.
Pemohon telah mengajukan praperadilan atas perkara-perkara korupsi sebagai pihak ketiga yang berkepentingan namun tidak diterima dengan alasan hak gugat Pemohon selaku pihak ketiga berkepentingan belum diatur dalam undang-undang serta terdapat ketentuan yang membatasi ruang gerak para Pemohon untuk turut serta melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi serta penegakan hukum. (Lulu Anjarsari/mh)