Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan Perkara Pengujian Undang-Undang Perasuransian yang dimohonkan oleh empat pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera (AJB Bumiputera) 1912, Selasa (21/5) di Ruang Sidang Pleno, Lantai 2, Gedung MK. Sidang kali ini mendengarkan opening statement pemerintah yang diwakili oleh Mulabasa Hutabarat selaku Sekretaris Badan Kebijakan Fiskal.
Dalam keterangannya, Pemerintah meminta Mahkamah untuk menolak permohonan Para Pemohon atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Pasalnya, Pemerintah menganggap Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk dapat mengajukan Pengujian UU Perasuransian. Pemerintah menilai Para Pemohon sama sekali tidak dirugikan dengan berlakanya UU Perasuransian. Pemerintah juga meminta Mahkamah menyatakan UU Perasuransian tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam penjelasannya, Pemerintah seperti yang dikatakan Mulabasa, anggapan Pemohon tentang Usaha Bersama tidak bisa dijadikan Perusahaan Terbatas adalah salah. Mulabasa memastikan Perusahaan Asuransi yang mempunyai kesehatan keuangan yang baik, proses mutualisasinya tidak akan mengurangi manfaat atau benefit sehingga tidak akan merugikan kepentingan pemegang polis, dalam hal ini tidak merugikan Para Pemohon selaku pemegang polis AJB Bumiputera 1912.
Sebelumnya Para Pemohon lewat kuasa hukumnya, Zairin menyatakan tidak bisa mengubah status usaha bersama karena sesuai aspek filosofis pendirian usaha bersama mutual AJB Bumi Putera 1912 berbeda dengan perusahaan terbatas pada umumnya. Para Pemohon berargumentasi bahwa usaha bersama mutual didirikan untuk kesejahteraan para anggotanya, pemegang polis. Sementara, Perseroan Terbatas adalah untuk keuntungan para pemodal atau pemegang saham saja.
Selanjutnya, Zairin mengatakan Pasal 7 ayat (3) yang diminta dinyatakan inkonstusional sepanjang tidak dimaknai mencantumkan batas waktu penetapan undang-undang a quo oleh Pemohon karena Pemohon melihat pasal a quo tidak mencantumkan batas waktu undang-undang. Zairin menambahkan argumentasi pada permohonannya tersebut bahwa pada UU No. 12 Tahun 2011 memang mengharuskan setiap suatu peraturan perundang-undangan itu harus mencantumkan suatu peraturan pelaksananya.
“Kemudian juga di sini kami mengatakan bahwa dapat dikatakan bahwa selama 21 tahun ini, itu sesungguhnya sudah terjadi kekosongan hukum terkait dengan usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama, meskipun pemerintah mengeluarkan aturan perundang-undangan yang terakhir diatur dengan PMK Nomor 53/PMK/2012. Saya kira ini terkait dengan masukan dari Majelis pada sidang yang pertama yang mengatakan bahwa untuk memahami secara utuh ketentuan Pasal 7 ayat (3) ini juga harus dibaca penjelasannya. Di sana disebutkan bahwa sementara sebelum ada undang-undangnya maka dikeluarkannya PP terlebih dahulu. Tapi sampai saat ini PP-nya juga belum ada. Bahkan, yang dikeluarkan adalah PMK (Peraturan Menteri Keuangan) Nomor 53 Tahun 2012. Saya kira ini adalah yang mencabut PMK-PMK sebelumnya, jadi terakhir berdasarkan ini, Yang Mulia,” papar Zairin pada sidang sebelumnya, Senin (22/4). (Yusti Nurul Agustin/mh)