Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan Perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) yang teregistrasi dengan nomor perkara 8/PUU-XI/2013, Selasa (21/5). Mahkamah menilai dalil Pemohon, yakni Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), tidak beralasan menurut hukum.
“Amar Putusan. Mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon,” tukas Ketua MK, M. Akil Mochtar didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya, kecuali Hakim Konstitusi Harjono yang berhalangan hadir.
Meskipun ditolak, Mahkamah membuat pertimbangan penting yaitu pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang menjelaskan bahwa pokok permohonan perkara ini mutatis mutandis (berlaku hal yang sama) dengan perkara No. 76/PUU-X/2012 yang dibacakan putusannya pada 8 Januari 2013 dan dengan perkara No. 98/PUU-X/2012 yang dibacakan sebelumnya pada hari ini juga. Untuk diketahui, perkara No. 98/PUU-X/2012 juga dimohonkan oleh MAKI.
Mahkamah pun berpendapat UU PTPK sejatinya mengatur mengenai hukum pidana korupsi dan hukum acara pidana korupsi. Hukum pidana korupsi diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 24 UU PTPK yang mengatur mengenai perumusan unsur-unsur pidana korupsi dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan dalam pidana korupsi tersebut. Adapun hukum acara pidana korupsi diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 40 UU tersebut yang mengatur mengenai jenis-jenis alat bukti, metode pembuktian, proses penyidikan, penuntutan, dan sidang di pengadilan.
Namun, hukum acara pindana untuk perkara korupsi sebenarnya tidak hanya diatur dalam UU PTPK, melainkan juga diantur dalam UU lainnya. “Hukum acara pidana untuk perkara korupsi tidak hanya diatur dalam UU PTPK saja, melainkan juga diatur dalam UU lain. Antara lain, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana(KUHAP),” jelas Maria membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.
Maria pun menjelaskan, UU PTPK sebenarnya sudah menegaskan ketentuan mengenai hal tersebut lewat Pasal 26 UU PTPK yang menyatakan, “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Berdasarkan Pasal 26 UU PTPK, Mahkamah menganggap lembaga praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 83 KUHAP juga berlaku untuk pidana korupsi. Praperadilan menurut Penjelasan Pasal 80 KUHAP bertujuan untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal.
Untuk memastikan ada pengawasan agar tidak terjadi tindakan upaya paksa perlu dilakukan pengawasan timbal balik dan pengawasan ganda yang juga diatur dalam Pasal 80 KUHAP yang menyatakan, “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.” Pengertian pihak ketiga, lanjut Maria, dapat pula ditafsirkan secara luas mencakup masyarakat luas yang di dalamnya termasuk LSM atau organisasi massa lainnya.
“Menimbang bahwa pokok permasalahan yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah mengenai dimungkinkannya “LSM/Ormas dapat diberikan hak untuk mengajukan praperadilan terhadap penghentian kasus korupsi oleh penegak hukum”. Terhadap pokok permasalahan Pemohon tersebut, Mahkamah dalam Putusan Nomor 76/PUU-X/2012, tanggal 8 Januari 2013 telah memberikan hak kepada LSM untuk dapat mengajukan praperadilan. Pertimbangan Mahkamah tersebut dikutip kembali dalam Putusan Nomor 98/PUU-X/2012, tanggal 21 Mei 2013,” tukas Maria.
Sebelumnya, Pemohon yang diwakili oleh Bonyamin selaku Koordinator dan Pendiri MAKI mendalilkan Pasal 41 ayat (4) UU PTPK hanya mengatur mengenai peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, namun pasal dalam UU tersebut tidak memberikan hak gugat kepada masyarakat untuk mengajukan praperadilan terhadap aparat penegak hukum yang tidak mau mengusut kasus korupsi dan/atau menghentikan penyidikan dan penuntutan dalam kasus korupsi. Oleh karena itu, Pemohon mendalilkan sepanjang Pasal 41 ayat (4) UU PTPK yang dimaknai meniadakan hak gugat masyarakat untuk mengajukan praperadilan terhadap aparat penegak hukum yang tidak mengusut kasus korupsi dan/atau menghentikan penyidikan dan penuntutan dalam kasus korupsi harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (Yusti Nurul Agustin/mh)