Kita memiliki banyak pemimpin, baik formal maupun informal, akan tetapi tidak semuanya memiliki karakter seorang negarawan. Demikian disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Akil Mochtar dalam sebuah acara Studium Generale dalam rangka Reuni Akbar Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti, Pontianak, Kalimantan Barat (20/05/2013).
Menurut Akil, banyak dari pemimpin-pemimpin kita yang kehilangan integritas, meski telah bersumpah untuk menjaga integritasnya. Bahkan lebih banyak bergumul dengan kepentingan dan ambisi masing-masing melalui entitasnya yang elitis dan eksklusif. Lebih lanjut Akil menyatakan, antara pemimpin dan kepemimpinan tidak selalu identik. “Kepemimpinan tidak lahir begitu saja, melainkan dibentuk dan ditempa oleh pengalaman, lingkungan, dan pengetahuan di sekelilingnya,” ujarnya.
Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI 2004-2008 ini menilai, saat ini kita surplus pemimpin tapi kekurangan pemimpin yang berakakter negarawan. Dicontohkan olehnya bahwa beberapa pemimpin baik di level nasional maupun internasional yang menunjukkan sifat negarawan, seperti Bung Hatta yang selalu mengedepankan kepentingan bangsa, bukan ambisi dan kepentingan pribadinya. Meski Hatta merasa tidak cocok dengan kepemimpinan Soekarno dan mengundurkan diri dari kursi wakil presiden, tetapi Hatta tidak pernah ikut campur atau mengkritisi kebijakan politik yang diambil Bung Karno, semata-mata menjaga agar pemerintahan tetap berjalan, menjaga persatuan, dan menghindari pertikaian politik.
Sama halnya dengan presiden pertama Amerika Serikat, George Washington. Akil mengungkapkan, Washington yang amat dicintai rakyat Amerika diminta kembali oleh rakyat untuk kembali menjabat sebagai presiden ketika masa jabatannya telah habis untuk periode yang kedua. Namun demi kecintaannya pada negara, Washington menolak permintaan tersebut dan mengatakan jika ia menerima permintaan tersebut, maka sama saja dengan meneruskan budaya monarki yang selama ini diperangi oleh rakyat Amerika.
Dari kedua contoh tersebut Akil teringat pada pernyataan Thomas Jefferson yang mengatakan perbedaan antara politisi dan negarawan. Diungkapkan Akil, Jefferson menyatakan, politisi memikirkan tentang pemilu berikutnya namun negarawan berpikir tentang generasi berikutnya. Atas dasar itu menurut Akil, pemimpin yang berkarakter negarawan adalah pemimpin yang sudah paripurna urusannya dengan kepentingan dan ambisi pribadinya. “Menjadi negarawan berarti menjadi individu yang siap dan rela berkorban demi kepentingan bangsa dan Negara,” terang Ketua MK yang menggantikan Mahfud MD ini.
Menyinggung lima belas tahun bergulirnya reformasi sejak tahun 1998, Akil menilai krisis kepemimpinan hingga saat ini tidak juga dapat dituntaskan. Padahal reformasi yang dulu digulirkan hingga menghasilkan perubahan mendasar dan signifikan, sebetulnya juga dimaksudkan untuk memperbaiki aspek kepemimpinan melalui demokrasi. Namun alih-alih menghasilkan pemimpin yang berkompeten dan amanah, justru sebaliknya yang lahir sekarang ini pemimpin formal yang minus kompetensi, etika, bahkan minus integritas. “Transformasi menuju kepemimpinan yang bermoral dan berintegritas itulah yang harus terus kita dorong dan kita gerakkan sehingga negarawan-negarawan baru bisa hadir menjadi pemimpin Indonesia,” tukas Akil. (Hamdi/mh)