Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menerima kunjungan para mahasiswa Magister Hukum Ligitasi FH Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Senin (20/5) siang di lantai 4 Gedung Mahkamah Konstitusi. Pada kesempatan itu Maria memberikan “kuliah singkat” dengan memaparkan panjang lebar, mulai dari sejarah pengujian UU di dunia hingga wewenang yang dimiliki MK di Indonesia.
“Sejarah terjadinya judicial review bermula dari Kasus Marbury vs Madison pada tahun 1803. Selain itu dipengaruhi gagasan dari Hans Kelsen, hingga dibentuknya Mahkamah Konstitusi di Austria sebagai Mahkamah Konstitusi pertama di dunia,” ujar Maria.
Sedangkan di Indonesia, lanjut Maria, usulan perlu adanya pengujian undang-undang pernah diusulkan salah seorang founding fathers Indonesia. Adalah Moh. Yamin yang mencetuskan ide tersebut. Namun ide tersebut ditentang Soepomo. Salah satu alasannya, karena di masa itu belum begitu banyak sarjana hukum di Indonesia.
Bertahun-tahun kemudian, usulan perlu adanya judicial review di Indonesia juga dilontarkan Ikatan Sarjana Hukum, melalui Ketetapan MPR, sampai akhirnnya pada pasca reformasi dilakukan perubahan UUD 1945 dan dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003. Itulah mula pertama adanya pengujian UU di Indonesia.
Maria melanjutkan, wewenang utama MKRI adalah pengujian UU terhadap UUD 1945. Pengujian UU bisa bersifat materil dan formil. Pengujian materil adalah melihat sejauhmana subtansi UU yang diujikan bertentangan atau tidak dengan UUD. Kalau ada ayat, pasal, bagian UU yang bertentangan dengan UU, maka Pemohon dapat mengajukan gugatan ke MK.
“Sedangkan pengujian formil, terkait proses pembentukan UU yang diujikan,” kata Maria kepada para mahasiswa.
Kewenangan MKRI lainnya, lanjut Maria, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, termasuk perselisihan pemilihan umum kepala daerah.
Selain itu MKRI wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Sesuai dengan Pasal 10 ayat (2) UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Lebih lanjut Maria menguraikan mengenai hakim konstitusi yang disebutkan dalam Pasal 24C UUD 1945. Bahwa MK mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan tiga orang oleh Presiden.
“Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Selain itu hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat negara,” tandas Maria. (Nano Tresna Arfana/mh)