Buku karya Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi berjudul “Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan Pasca Perubahan UUD 1945”, dibedah dalam sebuah acara seminar dan bedah atas buku tersebut di Auditorium Kampus 1 IAIN Walisongo Semarang, jumat pagi (17/05).
Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar menjadi narasumber acara tersebut. Ia membahas tentang dinamika independensi lembaga peradilan yang dewasa ini mulai dilupakan. “Buku ini mengulas konsepsi penting dalam dinamika lembaga peradilan yang selama ini luput dari perhatian, yaitu perihal pengawasan dan pembinaan hakim yang dikaitkan dengan upaya menjaga independensi pengadilan,” paparnya.
Dengan membuat perbandingan, lanjut Akil, kondisi antara sebelum dan sesudah Perubahan UUD 1945, karangan Fadlil ini membahas tuntas persoalan pengawasan dan pembinaan yang dilakukan Mahkamah Agung dikaitkan dengan independensi di empat lingkungan pengadilan dibawah MA yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). “Persoalan yang paling dirisaukan dalam buku Fadlil ini adalah apakah fungsi pengawasan dan pembinaan MA tersebut berpotensi mengurangi independensi peradilan itu atau tidak. Pertanyaan itu penting dijawab karena UUD 1945 Pasca Perubahan didasari oleh semangat untuk memberikan jaminan bagi terwujudnya independensi kekuasaan kehakiman,” tegas Akil.
Selanjutnya menurut Akil, sistem peradilan di Indonesia mengenal adanya struktur berjenjang, kecuali Mahkamah Konstitusi. Implikasi struktur berjenjang tersebut ialah tingkat pengadilan yang lebih tinggi atau tertinggi memiliki fungsi pengawasan terhadap pengadilan di tingkat yang lebih rendah. ”Pengawasan dilakukan terhadap perbuatan pengadilan melalui mekanisme yudisial yang disebut banding, kasasi, dan peninjauan kembali,” jelas Akil. Seperti diketahui, sebelum perubahan UUD 1945 dibawah rezim UU No.14/1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, masih terjadi dualisme pengawasan dan pembinaan pengadilan. Namun, seiring dengan perubahan UUD 1945, pengawasan MA tidak mencakup ranah mekanisme yudisial saja, tetapi mencakup pula pengawasan dalam bidang organisasi yang meliputi tugas administrasi dan keuangan.
Tegaknya negara hukum mensyaratkan adanya hakim dan pengadilan yang tidak takut atau khawatir atas akibat dari pihak-pihak manapun. Untuk itu, segala perbuatan, tindakan, atau kehendak yang mengancam independensi hakim dan pengadilan harus ditolak dan dilarang. Hal ini telah dilakukan MK dalam melaksanakan fungsinya, dimana hakim tidak boleh terpengaruh oleh siapapun atau apapun, termasuk pengaruh dari pimpinan pengadilan tempat ia mengadili, maupun hakim atau pemimpin pengadilan yang lebih tinggi. “Namun demikian menurut pandangan saya, agar independensi pengadilan dan hakim dapat berjalan senafas dengan tuntutan dan kebutuhan rakyat serta tidak menjadi justifikasi bagi oknum-oknum yang berbuat curang, maka independensi haruslah disertai dengan transparansi dan akuntabilitas lembaga pengadilan,” papar Akil.
Sebelumnya, Ahmad Fadlil mengatakan, buku ini fokus pada pengawasan dan pembinaan perilaku hakim sebagai sumber daya manusia pelaksana kekuasaan kehakiman dalam perspektif manajemen. Menurutnya, fungsi manajemen pemimpin dalam pengawasan dan pembinaan dikembangkan menjadi lebih banyak lagi, terutama terkait dengan semangat demokrasi yang sedang menggelora dikembangkanlah fungsi pengawasan melekat dan penanganan pengaduan masyarakat. Terkait dengan pengembangan fungsi tersebut maka masyarakat dilibatkan dalam pengawasan. “Pengadilan dalam perspektif negara hukum yang demokratis merupakan salah satu pelaku dalam penyelenggaraan peradilan dalam rangka memberikan perlindungan hukum yang adil kepada masyarakat,” jelasnya.
Dalam seminar dan bedah buku yang dibuka secara resmi oleh Rektor IAIN Prof. Dr. Muhibbin, M.Ag ini, Fadlil mengatakan bahwa penyelesaian sengketa hukum yang adil merupakan kepentingan masyarakat agar kehidupan masyarakat lebih tertib dan damai. Untuk itulah pengadilan harus independen dan imparsial, dan untuk mewujudkannya diperlukan hakim yang memiliki kompetensi dan profesionalitas. “Dengan demikian maka independensi dan imparsialitas kekuasaan kehakiman, kompetensi, dan profesionalitas hakim, dalam perspektif demokrasi dan negara hukum adalah hak masyarakat, bukan kepentingan pengadilan dan hakim itu semata-mata,” tegas Fadlil. (dedy/mh)